Selasa, 24 November 2015

Makalah aqidah akhlak , Manusia dan Takdir


MAKALAH aqidah DAN Akhlak
Manusia dan Takdir
 

 


Oleh:
              Andi Nurazmi Isnaeni     
2015353338

Akuntansi
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
2015/2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia  mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia mencari pelampiasan, yang memunculkan pemujaan. Selayaknya seorang hamba mempersembahkan pengagungan yang sempurna kepada Dzat yang telah memberikan kenikmatan yang sempurna. Manusia sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya, mampu mewujudkan segala keinginan dan kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Mereka mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya dari keadaan itu. Selain kepada yang Maha agung, manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri. Olehnya itu, manusia membutuhkan sesamanya dalam mewujudkan impiannya. Kesadaran tersebut merupakan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini.
B. Rumusan Masalah
          Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penyusun merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana kebutuhan manusia pada Tuhan?
2.    Bagaimana kesalehan Manusia secara vertikal maupun horizontal?
3.    Apa yang dimaksud takdir dan nasib manusia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebutuhan Manusia pada Tuhan
Hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah suatu hubungan yang tidak mungkin dipisahkan. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT, mustahil bisa berlepas diri dari keterikatan dengan-Nya. Bagaimanapun tidak percayanya manusia dengan Allah, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar  manusia akan  mengikuti aturan yang berlaku di alam semesta ini. Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh sebagian besar manusia sejak dahulu.  Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberikan akal dan pikiran, serta hati. Secara psikologi karakter manusia terbentuk dari tiga unsur, yaitu pikiran, hati nurani, dan hawa nafsu. Ketiganya ini harus berjalan dengan seimbang dan saling mengendalikan satu sama lain untuk menjadikan karakter yang baik pada manusia tersebut. Maka, manusia semasa hidupnya dalam setiap pekerjaan dan kegiatannya selalu menggunakan ketiga unsur tersebut. Sejak dilahirkan, manusia tentu saja telah memilki karakter bawaan dari orang tuanya, dan memiliki berbagai macam pengalaman semasa hidupnya sampai dia dewasa.
Hubungan manusia dengan Tuhan dapat digambarkan dengan kelemahan manusia dan keinginan untuk mengabdi kepada yang lebih agung. Manusia yang lemah memerlukan pelindung dan tempat mengadu segala permasalahan. Terkadang memang permasalahan yang tidak pelik mudah dan dapat diselesaikan oleh manusia sendiri. Namun, tak jarang persoalan himpitan hidup, rasa putus asa, hilangnya harapan dan lain sebagainya tak mungkin diselesaikan sendiri. Maka ia butuh sesuatu yang sempurna, yaitu Tuhan. Tempat mengadu segala persoalan hidup. Tanpa-Nya, manusia bisa jadi kehilangan arah dan tujuan hidup.


Allah sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al-Quran apa yang menjadi tujuan manusia hidup di muka bumi ini. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Aktivitas kehidupan manusia didalam menyembah Tuhannya merupakan pokok ajaran utama agama yang ada, namun pertanggung jawabannya adalah secara individu, artinya dalam aktivitas ini manusia bertanggung secara pribadi kepada Tuhannya. Sebagai contoh adalah: Aktivitas penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan aktivitas yang berhubungan dengan pemantapan mental spiritual agama, misalnya sholat, puasa, sedekah dan sebagainya.
Memang benar bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk ciptaan lain-Nya. Namun, dibalik kesempurnaan yang dimilikinya, manusia masih memiliki banyak kekurangan bila harus ditandingkan dengan kebesaran Allah SWT. Dalam hal ini, manusialah yang membutuhkan tuhan agar semua keinginannya bisa tercapai. Dengan melakukan ibadah, manusia secara tidak langsung meminta pertolongan Allah SWT, meminta pertolongan Allah berarti manusia sadar maupun tak sadar telah mengakui kuasa-Nya. Sedangkan Allah, tanpa ibadah pun Ia tetaplah Tuhan yang Maha kuasa.

B. Kesalehan Vertikal dan Horizontal
Berbagai aktifitas keagamaan semakin tampak nyata di dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pengajian-pengajian umum dan majelis taklim yang digelar. Namun, tingginya kuantitas kegiatan keislaman itu belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kemaslahatan riil yang didambakan oleh masyarakat luas. Sebagai contoh berbagai masalah sosial masih membelit umat Islam, seperti keterbelakangan, pengangguran, dan tingginya angka kemiskinan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan misi agung Islam sebagai agama yang"rahmatan lil 'aalamiin."
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Sementara para filosof Muslim dahulu menyebutnya al-insan madaniyy bith-thab'i. Kedua istilah itu memiliki arti yang sama, yaitu: manusia adalah makhluk sosial. Istilah ini, menurut Ibnu Khaldun, mengandung makna bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian dan keberadaannya tidak akan terwujud kecuali dengan kehidupan bersama. Islam datang agar sifat kebersamaan yang menjadi bawaan itu, dalam penyalurannya, memiliki tujuan yang sama. Sebagaimana firman Allah:
وَا لَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 82)
Dalam banyak ayat Al-Quran, kata-kata iman dengan berbagai derivasinya seringkali dikaitkan dengan kata amal saleh. Iman adalah hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan amal saleh adalah hubungan vertikal dengan Tuhan sekaligus hubungan horizontal dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk di bumi ini. Di sinilah makna kesalehan sosial berada, yaitu amalan baik yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Rasulullah saw adalah manusia yang memiliki tingkat ketakwaan dan kesalehan sosial paling tinggi. Keagungan akhlak Rasulullah adalah tidak melihat manusia dari kasta dan strata sosialnya. Rasulullah telah memberikan banyak contoh tentang indahnya berbagi kepada umatnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzarr r.a., Rasulullah saw bersabda:
 "Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak sayuran, perbanyaklah air (kuah)nya dan bagikanlah kepada tetangga-tetanggamu."  (H.R. Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
"Tidak beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya dan dia mengetahuinya." (H.R. Bukhori).
Dalam kedua hadits tersebut Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tidak pelit dan kikir kepada orang lain (tetangga) tanpa memilah dan membedakan apakah mereka itu muslim atau bukan.
Al-Hafizh ibn Hajar berkata, "Kata tetangga mencakup orang muslim dan kafir, orang taat beribadah dan orang fasik, teman dan musuh, orang asing dan pribumi, orang baik dan orang jahat, kerabat dan bukan kerabat, yang paling berdekatan rumahnya dan yang berjauhan."
Itulah kesalehan sosial yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Untuk itu, hendaknya pengkajian keislaman tidak berhenti pada tataran ilmu pengetahuan, namun diaplikasikan dalam wujud yang nyata, sehingga kemaslahatan umat dapat dicapai sebagaimana amanah dari Sang Pencipta. Dan hendaknya para da'i dan da'iyah Islam tidak hanya membanjiri umat dengan ilmu pengetahuan saja, namun hendaknya memberi contoh kongkrit berupa amal saleh. Sebagai manusia, kita harus benar-benar menggapai apa yang disebut sebagai kesalehan total. Untuk menggapainya, maka hanya ada rumus yaitu menggabungkan ibadah vertikal dan ibadah horizontal secara berkesinambungan. Sebagai orang yang beriman, tentu kita tidak akan memlih salah satu diantara ibadah vertikal atau ibadah horizontal. Orang yang beriman akan memilih keduanya tanpa saling meniadakan.

C. Takdir dan Nasib Manusia
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya, baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempat, maupun waktunya dan ditetapkan kepada manusia sejak zaman azali. Takdir disini banyak mengandung arti terutama pengertiannya. Banyak orang mengartikan bahwa takdir sama halnya dengan nasib. Hal ini sebenarnya kurang bisa dibedakan dan mengandung arti keduanya yang hampir sama atau samar-samar.
Perbedaan antara takdir dengan nasib adalah takdir merupakan ketetapan-Nya, sedangkan nasib merupakan perwujudan atau hasil dari takdir tersebut. Ada 2 macam takdir antara lain takdir mubram dan takdir muallaq. Takdir mubram adalah sebuah ketetapan Allah SWT yang diberikan kepada manusia yang sudah tidak dapat dirubah oleh siapapun. Contoh : kematian, jodoh ,kelamin, usia, dan lain-lain. Sedangkan Takdir muallaq adalah sebuah ketetapan Allah SWT yang mampu dirubah. Contoh apabila kita rajin dan taat beribadah , berdoa dan bersungguh-sungguh maka kita akan mendapatkan hasil ujian dengan nilai yang memuaskan.
Manusia dengan takdir sangat berhubungan dan saling memberikan pengaruh satu sama lain. Contoh takdir dapat merubah manusia untuk berusaha dan berikhtiar supaya mampu merubah keadaan manusia itu sendiri dengan sebaik-baiknya. Maka dari itu,manusia dituntut untuk berusaha dan berikhtiar untuk mampu merubah takdir muallaq itu. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d: 11)
Dari makna yang terkandung dalam ayat Al-Quran tadi dapat dijabarkan bahwa tidak ada yang mampu merubah sebuah keadaan manusia itu sendiri kecuali manusia itu sendiri yang merubah keadaannya dengan berusaha dan berikhtiar sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri dan mengaplikasikan usaha tersebut kedalam kehidupan sehari-hari dan berdoa kepada Allah SWT. Karena doa merupakan sebuah wujud permohonan kita yang kita persembahkan kepada Allah SWT untuk dikabulkan permintaan kita. Apabila kita berdoa kepada Allah SWT dengan niat ikhlas lillahi ta’ala Insyaallah, Allah akan meridhoi usaha kita untuk merubah keadaan kita menuju ke keadaan yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barangsiapa hatinya terbuka untuk berdoa, maka pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada permohonan yang lebih disenangi oleh Allah daripada permohonan orang yang meminta keselamatan. Sesungguhnya doa bermanfaat bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum terjadi. Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah wahai hamba Allah pada doa”. (HR Turmudzi dan Hakim)
            Dengan beriman kepada takdir kita dapat memahami bahwa Allah SWT itu pasti Maha Mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan terlaksananya kejadian di muka bumi ini.
Takdir juga dapat kita ubah sesuai dengan usaha dan ikhtiar kita tetapi juga ada takdir yang tidak dapat diubah, maka dari itu beriman kepada takdir adalah sebagian dari kepercayaan atau akidah yang ditanamkan benar-benar dalam hati setiap orang muslim. Kerahasiaan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ 
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
Ada beberapa hikmah iman kepada takdir,antara lain:
1.        Mampu mendorong manusia untuk berusaha dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kehidupan yang baik dalam dunia maupun akhirat dengan mengikuti ketentuan yag telah digariskan oleh Allah SWT
2.        Akan dapat mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.        Akan dapat mendorong manusia untuk menanamkan sikap tawakkal. Supaya manusia dapat berikhtiar dan berdoa. Sedangkan hasil akhirnya tergantung kehendak Allah SWT.
4.        Akan dapat mendorong manusia untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan ketentraman hidup bagi manusia karena semua berasal dari kehendak Allah SWT.  



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah pada bab sebelumnya, yaitu:
1.        Manusia sebagai hamba membutuhkan Tuhan untuk meminta pertolangan. Hal ini membuktikan ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan. Manusia memiliki status hamba tanpa memandang derajat kekuasaan di dunia.
2.        Kasalehan total pada seorang hamba, dapat diukur dari segi kesalehan vertikalnya atau taat ibadah kepada Tuhannya dan kesalehan horizontalnya atau amal baik kepada sesamanya.
3.        Takdir dan nasib manusia iu berbeda. Takdir adalah apa yang ditentukan oleh Allah, sedangkan nasib adalah apa yang terjadi pada manusia. Dimana takdir terbagi menjadi dua, yaitu: Takdir mubram (ketentuan Tuhan, tidak dapat diubah oleh manusia) dan takdir muallaq (dapat diusahakan oleh manusia untuk berubah ke hal yang lebih baik).
B. Saran
            Kepada rekan dan rekanita diharapkan dapat memahami makalah ini secara kritis dan menggunakannya sesuai dengan tuntutan ke-kini-an dan ke-disini-an zaman yang semakin modern untuk kemudian menjadi acuan dalam menghadapi problema keagamaan.





DAFTAR PUSTAKA
Anomin. Hubungan Manusia dengan Allah. Blog group (ukhuwah-i.tripod.com/aqi01.html). Diakses pada 17 oktober 2015

Muzayyana. Agustriani. 2011. Islam dan Kesalehan Sosial : Al Arham Edisi 37 (A) . Blog Pribadi.(ww.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=753:islam-dan-kesalehan-sosial--al-arham-edisi-37). Diakses pada 17 oktober 2015

Ridhaningtyas, Rianti. 2012. Hubungan Manusia dengan Allah. Blog Pribadi (http://ntykawaii-ntykawaii.blogspot.co.id/2012/04/hubungan-manusia-dengan-tuhan.html). Diakses pada 17 oktober 2015
Titiz. 2012. Manusia dan Takdir. Blog pribadi (http://titiz99.blogspot.co.id/2012/03/manusia-dan-takdir.html). Diakses pada 17 oktober 2015