MAKALAH
aqidah
DAN Akhlak
“Manusia dan Takdir”
Oleh:
Andi Nurazmi Isnaeni
2015353338
Akuntansi
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AHMAD DAHLAN
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
dalam kehidupan sehari-hari, manusia mempunyai kecenderungan untuk
mencari sesuatu yang mampu menjawab segala pertanyaan yang ada dalam benaknya.
Segala keingintahuan itu akan menjadikan manusia mencari pelampiasan, yang
memunculkan pemujaan. Selayaknya
seorang hamba mempersembahkan pengagungan yang sempurna kepada Dzat yang telah
memberikan kenikmatan yang sempurna. Manusia sebagai makhluk paling sempurna di
antara makhluk-makhluk lainnya, mampu mewujudkan segala keinginan dan
kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Secara naluri, manusia mengakui
kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia
mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Mereka mengeluh dan
meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya
dari keadaan itu. Selain kepada yang Maha agung, manusia sebagai makhluk sosial
tidak bisa hidup sendiri. Olehnya itu, manusia membutuhkan sesamanya dalam
mewujudkan impiannya. Kesadaran tersebut merupakan kelemahan dirinya.
Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah
ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan
terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan,
proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya
tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah
terjadi. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim
terkait masalah takdir ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang di atas, maka penyusun merumuskan masalah sebagai
berikut :
1.
Bagaimana
kebutuhan manusia pada Tuhan?
2.
Bagaimana
kesalehan Manusia secara vertikal maupun horizontal?
3.
Apa yang
dimaksud takdir dan nasib manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebutuhan Manusia pada Tuhan
Hubungan antara
Sang Pencipta dan yang diciptakan adalah suatu hubungan yang tidak mungkin
dipisahkan. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT, mustahil bisa
berlepas diri dari keterikatan dengan-Nya. Bagaimanapun tidak percayanya
manusia dengan Allah, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar
manusia akan mengikuti aturan yang berlaku di alam semesta ini.
Sesungguhnya hubungan antara Allah dan manusia sudah disadari oleh sebagian
besar manusia sejak dahulu. Manusia adalah makhluk Tuhan yang diberikan
akal dan pikiran, serta hati. Secara psikologi karakter manusia terbentuk dari
tiga unsur, yaitu pikiran, hati nurani, dan hawa nafsu. Ketiganya ini harus berjalan
dengan seimbang dan saling mengendalikan satu sama lain untuk menjadikan
karakter yang baik pada manusia tersebut. Maka, manusia semasa hidupnya dalam
setiap pekerjaan dan kegiatannya selalu menggunakan ketiga unsur tersebut.
Sejak dilahirkan, manusia tentu saja telah memilki karakter bawaan dari orang
tuanya, dan memiliki berbagai macam pengalaman semasa hidupnya sampai dia
dewasa.
Hubungan manusia
dengan Tuhan dapat digambarkan dengan kelemahan manusia dan keinginan untuk
mengabdi kepada yang lebih agung. Manusia yang lemah memerlukan pelindung dan
tempat mengadu segala permasalahan. Terkadang memang permasalahan yang tidak
pelik mudah dan dapat diselesaikan oleh manusia sendiri. Namun, tak jarang
persoalan himpitan hidup, rasa putus asa, hilangnya harapan dan lain sebagainya
tak mungkin diselesaikan sendiri. Maka ia butuh sesuatu yang sempurna, yaitu
Tuhan. Tempat mengadu segala persoalan hidup. Tanpa-Nya, manusia bisa jadi
kehilangan arah dan tujuan hidup.
Allah sudah
menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al-Quran apa yang menjadi tujuan
manusia hidup di muka bumi ini. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Aktivitas kehidupan manusia didalam menyembah
Tuhannya merupakan pokok ajaran utama agama yang ada, namun pertanggung
jawabannya adalah secara individu, artinya dalam aktivitas ini manusia
bertanggung secara pribadi kepada Tuhannya. Sebagai contoh adalah: Aktivitas
penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan aktivitas yang berhubungan dengan
pemantapan mental spiritual agama, misalnya sholat, puasa, sedekah dan
sebagainya.
Memang benar
bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk ciptaan
lain-Nya. Namun, dibalik kesempurnaan yang dimilikinya, manusia masih memiliki
banyak kekurangan bila harus ditandingkan dengan kebesaran Allah SWT. Dalam hal
ini, manusialah yang membutuhkan tuhan agar semua keinginannya bisa tercapai.
Dengan melakukan ibadah, manusia secara tidak langsung meminta pertolongan Allah
SWT, meminta pertolongan Allah berarti manusia sadar maupun tak sadar telah
mengakui kuasa-Nya. Sedangkan Allah, tanpa ibadah pun Ia tetaplah Tuhan yang
Maha kuasa.
B. Kesalehan Vertikal dan Horizontal
Berbagai aktifitas keagamaan semakin tampak nyata
di dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya
pengajian-pengajian umum dan majelis taklim yang digelar. Namun, tingginya
kuantitas kegiatan keislaman itu belum sepenuhnya berbanding lurus dengan
kemaslahatan riil yang didambakan oleh masyarakat luas. Sebagai contoh berbagai
masalah sosial masih membelit umat Islam, seperti keterbelakangan,
pengangguran, dan tingginya angka kemiskinan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan
misi agung Islam sebagai agama yang"rahmatan lil 'aalamiin."
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon.
Sementara para filosof Muslim dahulu menyebutnya al-insan madaniyy bith-thab'i. Kedua istilah itu memiliki arti yang
sama, yaitu: manusia adalah makhluk sosial. Istilah ini, menurut Ibnu Khaldun,
mengandung makna bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian dan keberadaannya
tidak akan terwujud kecuali dengan kehidupan bersama. Islam datang agar sifat
kebersamaan yang menjadi bawaan itu, dalam penyalurannya, memiliki tujuan yang
sama. Sebagaimana firman Allah:
وَا لَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang beriman
serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 82)
Dalam banyak ayat Al-Quran, kata-kata iman
dengan berbagai derivasinya seringkali dikaitkan dengan kata amal saleh. Iman
adalah hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan amal saleh
adalah hubungan vertikal dengan Tuhan sekaligus hubungan horizontal dengan
sesama manusia bahkan sesama makhluk di bumi ini. Di sinilah makna kesalehan
sosial berada, yaitu amalan baik yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Rasulullah saw adalah manusia yang memiliki tingkat ketakwaan dan kesalehan
sosial paling tinggi. Keagungan akhlak Rasulullah adalah tidak melihat manusia
dari kasta dan strata sosialnya. Rasulullah telah memberikan banyak contoh
tentang indahnya berbagi kepada umatnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abu Dzarr r.a., Rasulullah saw bersabda:
"Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak
sayuran, perbanyaklah air (kuah)nya dan bagikanlah kepada
tetangga-tetanggamu." (H.R. Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
"Tidak
beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan
di sampingnya dan dia mengetahuinya." (H.R.
Bukhori).
Dalam
kedua hadits tersebut Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tidak pelit dan
kikir kepada orang lain (tetangga) tanpa memilah dan membedakan apakah mereka
itu muslim atau bukan.
Al-Hafizh ibn Hajar berkata, "Kata
tetangga mencakup orang muslim dan kafir, orang taat beribadah dan orang fasik,
teman dan musuh, orang asing dan pribumi, orang baik dan orang jahat, kerabat
dan bukan kerabat, yang paling berdekatan rumahnya dan yang berjauhan."
Itulah kesalehan sosial yang dicontohkan oleh
Rasulullah saw. Untuk itu, hendaknya pengkajian keislaman tidak berhenti pada
tataran ilmu pengetahuan, namun diaplikasikan dalam wujud yang nyata, sehingga
kemaslahatan umat dapat dicapai sebagaimana amanah dari Sang Pencipta. Dan
hendaknya para da'i dan da'iyah Islam tidak hanya membanjiri umat dengan ilmu
pengetahuan saja, namun hendaknya memberi contoh kongkrit berupa amal saleh.
Sebagai manusia, kita harus benar-benar menggapai apa yang disebut sebagai kesalehan
total. Untuk menggapainya, maka hanya ada rumus yaitu menggabungkan ibadah
vertikal dan ibadah horizontal secara berkesinambungan. Sebagai orang yang
beriman, tentu kita tidak akan memlih salah satu diantara ibadah vertikal atau
ibadah horizontal. Orang yang beriman akan memilih keduanya tanpa saling
meniadakan.
C. Takdir dan Nasib Manusia
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi
di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya, baik itu mengenai kadar
atau ukurannya, tempat, maupun waktunya dan ditetapkan kepada manusia sejak
zaman azali. Takdir disini banyak mengandung arti terutama pengertiannya.
Banyak orang mengartikan bahwa takdir sama halnya dengan nasib. Hal ini
sebenarnya kurang bisa dibedakan dan mengandung arti keduanya yang hampir sama
atau samar-samar.
Perbedaan antara takdir dengan nasib adalah takdir
merupakan ketetapan-Nya, sedangkan nasib merupakan perwujudan atau hasil dari
takdir tersebut. Ada 2 macam takdir antara lain takdir mubram dan takdir
muallaq. Takdir
mubram adalah sebuah ketetapan Allah SWT yang diberikan kepada manusia yang
sudah tidak dapat dirubah oleh siapapun. Contoh : kematian, jodoh ,kelamin,
usia, dan lain-lain. Sedangkan Takdir muallaq adalah sebuah
ketetapan Allah SWT yang mampu dirubah. Contoh apabila kita rajin dan taat
beribadah , berdoa dan bersungguh-sungguh maka kita akan mendapatkan hasil
ujian dengan nilai yang memuaskan.
Manusia dengan takdir sangat berhubungan
dan saling memberikan pengaruh satu sama lain. Contoh takdir dapat merubah
manusia untuk berusaha dan berikhtiar supaya mampu merubah keadaan manusia itu
sendiri dengan sebaik-baiknya. Maka dari itu,manusia dituntut untuk berusaha
dan berikhtiar untuk mampu merubah takdir muallaq itu. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ
مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”. (QS.
Ar-Ra’d: 11)
Dari makna yang terkandung dalam ayat Al-Quran
tadi dapat dijabarkan bahwa tidak ada yang mampu merubah sebuah keadaan manusia
itu sendiri kecuali manusia itu sendiri yang merubah keadaannya dengan berusaha
dan berikhtiar sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri dan mengaplikasikan
usaha tersebut kedalam kehidupan sehari-hari dan berdoa kepada Allah SWT.
Karena doa merupakan sebuah wujud permohonan kita yang kita persembahkan kepada
Allah SWT untuk dikabulkan permintaan kita. Apabila kita berdoa kepada Allah
SWT dengan niat ikhlas lillahi ta’ala Insyaallah,
Allah akan meridhoi usaha kita untuk merubah keadaan kita menuju ke keadaan
yang lebih baik. Nabi Muhammad SAW
bersabda:
“Barangsiapa hatinya terbuka untuk berdoa, maka
pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada permohonan yang lebih
disenangi oleh Allah daripada permohonan orang yang meminta keselamatan.
Sesungguhnya doa bermanfaat bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum
terjadi. Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah
wahai hamba Allah pada doa”. (HR Turmudzi dan Hakim)
Dengan beriman kepada takdir kita
dapat memahami bahwa Allah SWT itu pasti Maha Mengetahui apa-apa yang akan
terjadi dan terlaksananya kejadian di muka bumi ini.
Takdir juga dapat kita ubah sesuai
dengan usaha dan ikhtiar kita tetapi juga ada takdir yang tidak dapat diubah,
maka dari itu beriman kepada takdir adalah sebagian dari kepercayaan atau
akidah yang ditanamkan benar-benar dalam hati setiap orang muslim. Kerahasiaan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَعِندَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ
وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak
sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
Ada beberapa hikmah iman kepada
takdir,antara lain:
1.
Mampu mendorong manusia untuk berusaha
dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kehidupan yang baik dalam
dunia maupun akhirat dengan mengikuti ketentuan yag telah digariskan oleh Allah
SWT
2.
Akan dapat mendorong manusia untuk
semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.
Akan dapat mendorong manusia untuk
menanamkan sikap tawakkal. Supaya manusia dapat berikhtiar dan berdoa.
Sedangkan hasil akhirnya tergantung kehendak Allah SWT.
4.
Akan dapat mendorong manusia untuk
mendapatkan ketenangan jiwa dan ketentraman hidup bagi manusia karena semua
berasal dari kehendak Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah
pada bab sebelumnya, yaitu:
1.
Manusia
sebagai hamba membutuhkan Tuhan untuk meminta pertolangan. Hal ini membuktikan
ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhan. Manusia memiliki status hamba tanpa
memandang derajat kekuasaan di dunia.
2.
Kasalehan
total pada seorang hamba, dapat diukur dari segi kesalehan vertikalnya atau
taat ibadah kepada Tuhannya dan kesalehan horizontalnya atau amal baik kepada
sesamanya.
3.
Takdir
dan nasib manusia iu berbeda. Takdir adalah apa yang ditentukan oleh Allah,
sedangkan nasib adalah apa yang terjadi pada manusia. Dimana takdir terbagi
menjadi dua, yaitu: Takdir mubram (ketentuan Tuhan, tidak dapat
diubah oleh manusia) dan takdir muallaq (dapat diusahakan oleh manusia untuk
berubah ke hal yang lebih baik).
B. Saran
Kepada rekan dan rekanita diharapkan
dapat memahami makalah
ini secara kritis dan menggunakannya
sesuai dengan tuntutan ke-kini-an dan ke-disini-an zaman yang semakin modern untuk
kemudian menjadi acuan dalam menghadapi problema keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anomin.
Hubungan Manusia dengan Allah. Blog
group (ukhuwah-i.tripod.com/aqi01.html). Diakses
pada 17 oktober 2015
Muzayyana. Agustriani. 2011. Islam dan Kesalehan Sosial : Al Arham Edisi 37 (A) . Blog Pribadi.(ww.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=753:islam-dan-kesalehan-sosial--al-arham-edisi-37). Diakses pada 17 oktober 2015
Ridhaningtyas,
Rianti. 2012. Hubungan Manusia dengan
Allah. Blog Pribadi (http://ntykawaii-ntykawaii.blogspot.co.id/2012/04/hubungan-manusia-dengan-tuhan.html). Diakses
pada 17 oktober 2015
Titiz.
2012. Manusia dan Takdir. Blog
pribadi (http://titiz99.blogspot.co.id/2012/03/manusia-dan-takdir.html).
Diakses pada 17 oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar