Sabtu, 27 Februari 2021

MANAJEMEN KEUANGAN BANK SYARIAH - Taks VI (PERBANDINGAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI )

 

PERBANDINGAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI 

PT. BANK SYARIAH MANDIRI DAN PT. BANK MUAMALAT INDONESIA,TBK

PERIODE TRIWULAN II TAHUN 2020 DAN TRIWULAN II TAHUN 2019

Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Bank Syari’ah


BAB I

PENDAHULUAN

         Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertanggung jawab dalam pembinaan dan pegawasan operasional bank. Oleh sebab itu BI dan OJK meminta seluruh bank melaporkan kondisi keuangannya secara harian, mingguan, bulanan, triwulanan, semesteran dan tahunan. Laporan keuangan dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi perbankan secara mikro yang kemudian digunakan sebagai sumber dalam membuat kebijakan dalam perekonomian secara makro oleh pemerintah di negera Indonesia ini.

Laporan keuangan serta rasio-rasio keuangan digunakan juga oleh manajemen dan stake holder untuk mengetahui kinerjanya selama periode tertentu, oleh karena itu perhitungan dan penyajiannya harus sesuai dengan aturan atau standar yang berlaku, baik peraturan BI maupun OJK, supaya datanya dapat dianalisa atau diperbandinglan dengan bank lain..

Menurut (Romdhoni, 2016), rasio keuangan dikelompokkan dalam lima jenis yaitu : (1) rasio likuiditas, yaitu rasio yang menyatakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka pendek; (2) rasio aktivitas, menyatakan kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan harta yang dimikinya; (3) rasio profitabilitas, menunjukkan kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan keuntungan; (4) rasio solvabilitas (leverage), menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang, dan (5) rasio pasar, menunjukkan informasi penting perusahaan dan diungkapkan dalam basis per saham.

Manurut (Romdhoni, 2016), dari rasio keuangan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesehatan keuangan suatu bank diperlukan alat-alat analisa finansial. Diantara alat finansiil yang digunakan adalah analisa rasio. Umumnya analisa rasio yang digunakan untuk mengukur kesehatan finansial suatu perusahaan adalah analisa rasio rentabilitas, likuiditas, solvabilitas ini merupakan indikator utamanya sedangkan indikator tambahan terdiri dari profit margin, rasio operasi, dan produktivitas tenaga kerja. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, maka manajemen bank harus memperhatikan kinerja usahanya. Salah satu penilaian terhadap kinerja perbankan adalah dengan melihat pada tingkat rentabilitasnya (Prasetyo, 2009).

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

 

A.    Pengertian dan Daftar Istilah

Tingkat kinerja suatu bank dapat diukur menggunakan analisis rasio keuangan yaitu rasio likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas. Rasio keuangan tersebut dapat menggambarkan sehat tidaknya operasional suatu bank, yang dapat ditinjau dari laporan keuangan yaitu neraca dan laporan laba rugi

a.    Rasio Rentabilitas

Menurut (Suciati, 1989), Rasio Rentabilitas, yaitu alat untuk menganalisa atau mengukur tingkat efesiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh Bank yang bersangkutan. Selain itu, rasio-rasio dalam kategori ini dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank.

-          Return On Asset (ROA), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan.

-          Return On Equity (ROE), yaitu perbandingan diantara laba bersih bank dengan modal sendiri. ROE ini merupakan indikator yang amat penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembagian deviden.

-          Rasio Beban Operasional (BOPO), yaitu perbandingan antara beban operasional dengan pendapatan operasional. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank dalam melakukan kegiatan operasinya.

-          Net Profit Margin (NPM) adalah rasio yang menggambarkan tingkat keuntungan bank, dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari kegiatan operasionalnya.

-          Net Operation Margin (NOM) adalah rasio Pendapatan penyaluran dana setelah bagi hasil dikurangi beban operasional yaitu pendapatan penyaluran dana setelah dikurangi beban bagi hasil dan beban operasional lainnya, yang disetahunkan.[1]

b.   Rasio Likuiditas

Menurut (Suciati, 1989), rasio likuiditas adalah yang mengukur kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya atau kewajiban yang telah jatuh tempo. Rasio likuiditas meliputi:

-          Loan to Deposit Ratio (LDR), yaitu rasio antara jumlah seluruh kredit yang diberikan Bank dengan dana yang diterima oleh Bank. LDR menyatakan seberapa jauh kemampuan bank untuk membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya.

-          Loan to Asset Ratio (LAR), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank yang menunjukkan kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit dengan menggunakan total asset yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini, tingkat likuiditasnya semakin kecil karena jumlah asset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya menjadi semakin besar.

c.       Rasio Solvabilitas

Menurut (Suciati, 1989), Rasio Solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya, atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya jika terjadi likuiditasi Bank.

-          Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh aset bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (hutang), dan lain-lain.

-          Debt to Equity Ratio (DER), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam menutup sebagian atau seluruh hutang-hutangnya, baik jangka panjang maupun jangka pendek dengan dana yang berasal dari dana bank sendiri.

d.      Dana Pihak Ketiga

Dana pihak ketiga adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1)

Komponen Dana Pihak Ketiga (DPK):

a.     Giro Nasabah, yaitu simpanan masyarakat yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro atau surat perintah pemindahbukuan yang lain.

b.     Tabungan, yaitu simpanan masyarakat yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan menggunakan cek, bilyet giro atau yang dipersamakan dengan itu.

c.     Deposito Berjangka, dalam pos ini termasuk deposito berjangka dalam rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian yang disepakati antar bank dengan pihak ketiga. Walaupun deposito telah jatuh tempo namun belum ditarik oleh deposan maka tetap dimasukkan dalam komponen ini.

d.     Sertifikat Deposito, yaitu simpanan berjangka yang penarikannya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan tetapi dapat diperjualbelikan. (Imam Tofan B.S , Patricia Dhiana P., 2017)

e.    Pembiayaan

Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.[2]

f.        Non Performing Financing (NPF)

        Non Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet sesuai POJK Nomor 19 /POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah

        Rasio Non Performing Financing (NPF) Gross adalah persentase Pembiayaan Bermasalah dibagi Total Aset.

        Rasio Non Performing Financing (NPF) Net adalah persentase Pembiayaan Bermasalah dikurangi CKPN Pembiayaan Bermasalah dibagi Total Aset.

        Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kualitas aset BUS dan UUS.

        Pembiayaan hanya mencakup pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.

        Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet.

        Pembiayaan bermasalah dihitung berdasarkan nilai tercatat dalam neraca, secara gross (sebelum dikurangi CKPN).

        Total Pembiayaan dihitung berdasarkan nilai tercatat dalam neraca, secara gross (sebelum dikurangi CKPN)

        CKPN Pembiayaan Bermasalah adalah cadangan yang wajib dibentuk Bank untuk pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet sesuai ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI), yang mencakup CKPN pembiayaan secara individual dan kolektif.[3]

g.      Laba

Menurut Soemarsono (Kholifah, 2015) pengertian laba yaitu: “Laba adalah selisih lebih pendapatan atas beban-beban sehubungan dengankegiatan usaha oleh karena laba adalah hasil pengurangan beban terhadappendapatan, maka kunci kelayakan penetapan laba atau rugi adalah menentukan jumlah pendapatan yang dihasilkan dan jumlah beban yangterjadi dalam periode bersangkutan.”.

Laba sebelum pajak menurut Islahuzzaman (2012:239) disebut juga laba operasi bersih (Net Operating Income) yaitu penghasilan sebelum dikurangi bunga dan pajak penghasilan. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung laba sebelum pajak adalah: EBT = Pendapatan - Biaya (tidak termasuk beban pajak)

Laba bersih menurut Islahuzzaman (2012:238) merupakan laba yang diperoleh setelah dikurangi pajak penghasilan. Hery (2013:267) mengemukakan bahwa laba bersih (net income) adalah laba operasi ditambah pendapatan non operasi (seperti pendapatan bunga), dikurangi biaya non operasi (seperti biaya bunga), dan dikurangi pajak penghasilan.

h.   Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

Menurut Pandia (2012:72) bahwa BOPO/Biaya Operasional Pendapatan Operasional ratio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. (Harun, 2016)

-          Rumus: Total Beban perasional/Total Pendapatan operasional

-          Beban perasional yaitu seluruh beban operasional termasuk beban bagi hasil, bonus, dan imbalan

-          Pendapatan operasional yaitu seluruh pendapatan margin, bagi hasil, dan
imbalan serta pendapatan operasional lainnya.

-          Angka dihitung per posisi tidak disetahunkan[4]

 

BAB II

PERBANDINGAN LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI 

PT. Bank Syariah Mandiri dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk

Periode Triwulan II Tahun 2020 dan Triwulan II Tahun 2019

 

1.      Ikhtisar Data Keuangan dan Rasio Keuangan[5]



 

2.      Analisa Struktur Dana Pihak Ketiga (DPK)


 Sumber utama pendanaan Bank Syariah berasal dari penghimpunan dana yang berupa simpanan dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito. Dari segi total DPK, BSM lebih tinggi dibanding BMI pada Q2-2010 dan Q2-2019, dimana total DPK BSM mencapai Rp101.781.696 juta pada Q2-2020 dan Rp87.354.851 juta, total DPK tersebut secara berturut-turut mencapai 264% dibadingkan dengan total DPK BMI pada Q2-2020 dan 216%  s dibadingkan dengan total DPK BMI pada Q2-2019.

DPK yang tinggi akan memberikan pengaruh yang besar kepada kemampuan Bank dalam ekspansi menyalurkan pembiayaan dan tingkat likuiditas Bank. Permintaan terhadap pembiayaan yang cukup tinggi harus diimbangi dengan dana yang tersedia, semakin besar DPK yang dapat dihimpun oleh Bank, maka semakin banyak jumlah dana yang dapat disalurkan dalam bentuk aktiva produktif seperti pembiayaan, surat berharga, penyertaan, dan aktiva produktif lainnya

Dari sisi struktur pendanaan, DPK BSM pada Q2- 2020 dan Q2-2019, komposisi dana murahnya (CASA) cukup tinggi mencapai 57,93% pada Q2-2020 dan 54,28% pada Q2-2019, sementara struktur DPK pada BMI didominasi dengan dana mahal (Deposito) yang mencapai 54,26% pada Q2-2020 dan 54,30% pada Q2-20019, artinya secara pendanaan BSM lebih baik dibanding BMI, karena dengan struktur dana yang didominasi dengan dana murah (CASA) hal ini dapat mendorong pemberian pembiayaan di sisi aset yang semakin tinggi juga, karena biaya dana yang diperhitungkan dalam perhitungan margin yang diinginkan BSM akan kecil, artinya produk pembiayaan BSM akan lebih kompetitif dibanding BMI.

 

3.      Analisa Struktur Pembiayaan


Pembiayaan yang disalurkan BSM mengalami peningkatan dari Q2-2019: Rp.71.202.799 juta sampai dengan Q2-2020: Rp75.428.738 juta, sementara pembiayaan pada BMI mengalami penurunan dari Q2-2019: Rp29.877.217 juta manjadi Rp29.074245 juta di Q2-2020. Hal ini berbanding lurus dan sangat berkaitan erat dengan tingkat kenaikan dan penurunan dari sisi DPK.

Dilihat dari struktur pembiayaannya, BMI lebih mengedepankan konsep pembiayaan berbagi hasil, dapat dilihat pada Q2-2010 total pembiayaan bagi hasil (Musyarakah dan Mudharabah) sebesar Rp14.888.001 juta atau 51,21% dari total pembiayaan dan pada Q2-2019 sebesar Rp14.963.398 juta atau 50,08% dari total pembiayaan, hal ini berbeda dengan BSM yang lebih memilih strategy pembiayaan konsep jual beli (Murabahah), dapat dilihat pada Q2-2020 total mebiayaan Murabahah mencapai Rp40.077.362 juta atau 53,13% dari total pembiayaan dan Q2-2019 mencapai Rp39.397.740 juta atau 55,33% dari total pembiayaan.

Dilihat dari penyaluran pembiayaan kepada UMKM, BMI sudah cukup baik secara prosentase pembiayaan kepada UMKM terhadap total pembiayaan, dimana rasionya mencapai 18,41% pada Q2-2020 dan 19,67% pada Q2-2019, sementara rasio UMKM terhadap total pembiayaan BSM hanya mencapai 10,61% pada Q2-2020 dan 13,27% pada Q2-2019, meskipun rasio UMKM tersebut belum sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Rasio minumum pembiayaan UMKM terhadap total pembiayaan yang diminta Bank Indonesia adalah 20%.

  

4.      Analisa Risiko Rentabilitas

Dilihat dari rasio risiko rentabilitas, BSM lebih baik dibanding BMI pada posisi Q2-2020 dan Q2-2019. Semakin tinggi rasio rentabilitas maka kinerja suatu Bank semakin baik. Rasio BSM sangat jauh mengungguli BMI dari rasio ROE, pada Q2-2020 rasio BSM mencapai 15,71% sementara BMI hanya mencapai 0,30% dan pada Q2-2019 rasio BSM mencapai 14,01% sementara BMI hanya mencapai 0,27%. Begitupun rasio lainnya seperti ROA, NI dan NOM, BSM lebih baik dibandingkan BMI pad aQ2-202 dan Q2-2019.

 

5.      Analisa Risiko Likuiditas


Kriteria Penilaian Peringkat FDR

Peringkat Komposit 1

50%<FDR ≤ 75%

Peringkat Komposit 2

75%<FDR ≤ 85%

Peringkat Komposit 3

85%<FDR ≤ 100%

Peringkat Komposit 4

100% <FDR ≤ 120%

Peringkat Komposit 5

FDR > 120%

Sumber: SE Bank Indonesia No.6/23/DPNP tahun 2004

Dilihat dari rasio risiko likuiditas, kinerja BSM sebanding dengan BMI per posisi Q2-2020 dan Q2-2019, artinya pada periode Q2-2020 dan Q2-2019, BSM maupun BMI dalam konidisi aman dari sisi likuiditasnya.


6.      Analisa Risiko Solvabilitas

Dilihat dari risiko solvabilitas, kinerja BSM lebih baik dibandingkan dengan BMI, dimana rasio KPMM/CAR BSM per posisi Q2-2020 adalah 17,41% atau lebih tinggi 5,28% dibanding BMI yang rasio CAR nya adalah 12,13%, begitu juga pada Q2-2019, rasio BSM lebih baik dibandingkan BMI, dimana rasio BSM mencapai 15,84% atau lebih tinggi 3,83% dibanding rasio CAR BMI yan mencapai 12,01%. Rasio KPMM menurut OJK adalah 8%, oleh karena itu rasio KPMM BSM dan BMI  sesuai dengan ketentuan OJK.

Dari sisi permodalan, BSM memiliki modal yang cukup tinggi dibandingkan dengan BMI, dimana modal yang kuat akan memberikan stimulus kepada manajemen dan seluruh karyawan untuk terus ekspansi, yang akhirnya mendapatkan keuntungan yang besar. Dengan kondisi permodalan tersebut maka BSM termasuk kategori BUKU 3, sementara BMI termasuk BUKU 2.

-          BUKU 2 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) sampai dengan kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);

-          BUKU 3 adalah Bank dengan Modal Inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) sampai dengan kurang dari Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun rupiah).[6]

 

7.      Analisa Rasio NPF

  1. NPF Gross




Rasio NPF gross BSM lebih baik dibanding Rasio NPF gross BMI pada periode Q2-2020 sebesar 2,57% dan pada Q2-2019 sebesar 2,89%, rasio NPF tersebut menunjukkan adanya perbaikan di BSM.

Rasio NPF gross BSM mengalami perbaikan dari Q2-2019 ke Q2-2020, sementara rasio-rasio NPF BMI mengalami penurunan pada Q2-2020 mencapai 5,70% dan pada Q2-2019 mencapai 5,41%.

Rasio NPF gross BSM dan BMI dapat terjaga hingga Q2-20, selain dari hasil strategy pengelolaan yang telah dilakukan oleh masing-masing Bank, hal ini juga disebabkan dukungan relaksasi yang dikeluarkan OJK melalui peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 11 /POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang berlaku sampai dengan 31 Maet 2021 dan POJK Nomor 48 /POJK.03/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang berlaku sampai dengan 31 Maret 2022.

Dalam POJK Nomor 11/POJK.03/2020 Pada Bab I pasala 2  ayat 2 diatur kebijakan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi sebagaimana meliputi kebijakan penetapan kualitas aset dan kebijakan restrukturisasi pembiayaan atau pembiayaan dan pada Bab II Pasal 3 ayat 1 diatur penetapan kualitas aset berupa pembiayaan dan penyediaan dana lain pada BUS, bagi debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah dengan plafon paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga atau margin/bagi hasil/ujrah serta Bab III pasal 5 ayat 1 disebutkan juga kualitas pembiayaan atau pembiayaan yang direstrukturisasi ditetapkan lancar sejak dilakukan restrukturisasi.

Ketiga Bank Syari’ah dapat memanfaatkan relaksasi POJK No.11 /POJK.03/2020 dan POJK No. 48 /POJK.03/2020 untuk menjaga rasio NPF gross tersebut sampai dengan 31 Maret 2022, namun ketiga Bank Syariah tersebut harus mempersiapkan strategy penjagaan rasio NPF untuk menghadapi masa setelah selesainya relaksasi POJK No. 48 /POJK.03/2020 tersbut.

 

  1. NPF Net


 

Rasio NPF net BSM jauh lebih baik sebagaimana halnya rasio NPF gross BSM juga lebih baik  dibandingkan dengan BMI pada Q2-2020 dan Q2-2019, dimana perbaikan rasio NPF gross ke rasio NPF nett mencapai 1,69% pada Q2-2020 dan 1,68% pada Q2-2019, hal ini menunjukan BSM masih sangat sehat dengan kemampuan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang tinggi atas pembiayaan bermasalah, sementara BMI kemampuan membentuk CKPN juga sangat rendah, sebesar 0,73% pada Q2-2020 dan 0,88% pada Q2-2019.

Kemampuan pembentuan PPAP atau CKPN yang rendah pada BMI terlihat juga pada selisih kurang antara Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produkti yang diperhitungkan dalam perhitungan KPMM sebesar Rp466.321 juta pada Q2-2020 dan Rp245.616 juta pada Q2-2019.

Rasio NPF net BMI jauh lebih rendah dibanding dengan BSM, namun BMI sampai Q2-2020 masih dapat mengelola rasio NPF dibawah 5% sesuai dengan ketentuan OJK, BMI juga masih memiliki kemampuan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), meskipun tidak sebesar BSM untuk memperbaiki rasio NPF gross yang di atas 5% menjadi NPF Net dibawah 5%, hal ini menunjukan BMI masih sehat karena masih dapat mengelola rasio keuangan sesuai dengan peraturan OJK.

 

8.      Analisa Laba Sebelum Pajak (EBT) dan Laba Setelah Pajak (EAT)

  1. EBT


 

  1. EAT

 

Berdasarkan data di atas, BSM memperoleh laba sebelum pajak dan laba setelah pajak yang lebih baik dibanding dengan BMI, pada Q2-2020 perolehan EBT BSM mencapai Rp892.231 juta atau mengalami kenaikan 32,77% atau sebesar Rp242.420 juta dibandingkan dengn Q2-2019, sementara BMI mengalami penurunan pada Q2-2020: 2,76% atau sebesar 187 juta dibandingkan dengan Q2-2019.

 

9.      Analisa Rasio Efisiensi (BOPO)


Berdasarkan data di atas, BSM lebih efisien dibandingkan BMI pada Q2-2020 dan Q2-2019, dimana rasio BOPO BSM sebesar 81,26% pada Q2-2020 atau lebih baik 16,93% dibandingkan dengan rasio BOPO BMI yang rasio BOPO nya mencapai 98,19%, begitu pula pada Q-2 2019, rasio BOPO BSM sebesar 83,91%, atau lebih baik 15,13% dibandingkan dengan rasio BOPO BMI yang rasio BOPO nya mencapai 99,04.

                                                                         

                                                                            BAB III

KESIMPULAN

        Berdasarkan analisa data laporan keuangan PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank Muamalat Indoensai, Tbk (BMI) periode Q2-2020 dan Q2-2019, maka dapat disimpulkan bahwa BSM lebih baik kinerja keuangannya secara keseluruhan dibandingkan dengan BMI. Hal ini dapat dilihat dari analisa beberapa hal sebagai berikut:

-          Dana Pihak Ketiga (DPK): BSM memiliki struktur DPK yang lebih stabil karena DPK nya didominasi dengan dana CASA (dana murah), serta DPK BSM mengalami peningkatan dari Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019, sementara DPK BMI didominasi dana mahal atau deposito, dan mengalami penurunan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019.

-          Pembiayaan: Total pembiayaan BSM mengalami peningkatan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019, sementara BMI mengalami penurunan pembiayaan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019.

-          Rasio rentabilitas: Kinerja BSM memiliki rasio rentabilitas yang lebih baik dibanding BMI pada posisi Q2-2020 dan Q2-2019

-          Rasio likuiditas: Kinerja BSM sebanding dengan BMI per posisi Q2-2020 dan Q2-2019, artinya pada periode Q2-2020 dan Q2-2019, BSM maupun BMI dalam kondisi aman dari sisi likuiditasnya

-          Rasio solvabilitas: Kinerja BSM lebih baik dibandingkan dengan BMI, dimana rasio KPMM/CAR BSM per posisi Q2-2020 adalah 17,41% atau lebih tinggi 5,28% dibanding BMI yang rasio CAR nya adalah 12,13%, begitu juga pada Q2-2019, rasio BSM lebih baik dibandingkan BMI, dimana rasio BSM mencapai 15,84% atau lebih tinggi 3,83% dibanding rasio CAR BMI yan mencapai 12,01%. Rasio KPMM menurut OJK adalah 8%, oleh karena itu rasio KPMM BSM dan BMI  sesuai dengan ketentuan OJK

-          Laba sebelum pajak dan laba setelah pajak: Total laba sebelum pajak dan laba setelah pajak BSM mengalami peningkatan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019, sementara BMI mengalami penurunan laba sebelum pajak dan setelah pajak pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019

 

-          Rasio NPF: Rasio NPF gross BSM leboh baik dibandingkan denan rasio NPF BMI serta mengalami perbaikan dari Q2-2019 ke Q2-2020, sementara rasio-rasio NPF BMI mengalami penurunan pada Q2-2020 mencapai 5,70% dan pada Q2-2019 mencapai 5,41%.

-          Rasio efisiensi: Rasio BOPO BSM lebih efisien dibandingkan BMI pada Q2-2020 dan Q2-2019, dimana rasio BOPO BSM sebesar 81,26% pada Q2-2020 atau lebih baik 16,93% dibandingkan dengan rasio BOPO BMI yang rasio BOPO nya mencapai 98,19%, begitu pula pada Q-2 2019, rasio BOPO BSM sebesar 83,91%, atau lebih baik 15,13% dibandingkan dengan rasio BOPO BMI yang mencapai 99,04%.

 

  DAFTAR PUSTAKA


Harun, U. (2016). Pengaruh Ratio-Ratio Keuangan CAR, LDR, NIM, BOPO, NPL Terhadap ROA. Pengaruh Ratio-Ratio Keuangan CAR, LDR, NIM, BOPO, NPL Terhadap ROA, 4, 67–82.

 

Imam Tofan B.S , Patricia Dhiana P., R. A. (2017). Pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK), Non Perfoming Loan (NPL) Dan Modal Terhadap Penyaluran Kredit Dan Profitabilitas Pada Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2011 – 2015. 1–15.

 

Kholifah, M. at. al. (2015). Analisis Pembiayaan Musyarakah Terhadap Laba Bersih Pada Pt Bank Muamalat Indonesia. Jurnal Measurement, 9(3).

Romdhoni, A. H. (2016). Analisis Likuiditas Berbasis Laporan Keuangan Bri Syariah Tahun 2013 – 2015. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 2(02), 1–10. https://doi.org/10.29040/jiei.v2i02.46

 

Suciati. (1989). Kinerja Keuangan Berdasarkan Rasio Likuiditas, Rentabilitas, dan Solvabilitas Perbankan Syariah Pada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. Periode 2011-2013. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(10), 160.

 

POJK Nomor 6/POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.

 

POJK Nomor 19/POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

 

UU RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

 

SEOJK Nomor 10 /SEOJK.03/2020 Tentang Transparansi Dan Publikasi Laporan Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

 

https://www.bankmuamalat.co.id/

https://www.mandirisyariah.co.id/

https://www.ojk.go.id/id/Default.aspx



[1] SEOJK Nomor 10 /SEOJK.03/2020 Tentang Transparansi Dan Publikasi Laporan Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

[2] UU RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

[3] POJK Nomor 19 /POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

[4] SROJK Nomor 10/SEOJK.03/2020 Tentang Transparansi Dan Publikasi Laporan Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

[6] POJK Nomor 6/POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar