PERBANDINGAN
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
PT.
BANK SYARIAH MANDIRI DAN PT. BANK MUAMALAT INDONESIA,TBK
PERIODE
TRIWULAN II TAHUN 2020 DAN TRIWULAN II TAHUN 2019
Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Bank Syari’ah
BAB
I
PENDAHULUAN
Laporan
keuangan serta rasio-rasio keuangan digunakan juga oleh manajemen dan stake
holder untuk mengetahui kinerjanya selama periode tertentu, oleh karena itu perhitungan
dan penyajiannya harus sesuai dengan aturan atau standar yang berlaku, baik
peraturan BI maupun OJK, supaya datanya dapat dianalisa atau diperbandinglan
dengan bank lain..
Menurut
(Romdhoni, 2016), rasio keuangan dikelompokkan dalam lima jenis yaitu : (1) rasio
likuiditas, yaitu rasio yang menyatakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajibannya dalam jangka pendek; (2) rasio aktivitas, menyatakan kemampuan
perusahaan dalam memanfaatkan harta yang dimikinya; (3) rasio profitabilitas,
menunjukkan kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan keuntungan; (4) rasio
solvabilitas (leverage), menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka panjang, dan (5) rasio pasar, menunjukkan informasi
penting perusahaan dan diungkapkan dalam basis per saham.
Manurut
(Romdhoni, 2016), dari rasio keuangan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kesehatan keuangan suatu bank diperlukan alat-alat analisa finansial. Diantara
alat finansiil yang digunakan adalah analisa rasio. Umumnya analisa rasio yang
digunakan untuk mengukur kesehatan finansial suatu perusahaan adalah analisa
rasio rentabilitas, likuiditas, solvabilitas ini merupakan indikator utamanya
sedangkan indikator tambahan terdiri dari profit margin, rasio operasi, dan
produktivitas tenaga kerja. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat, maka manajemen bank harus memperhatikan kinerja usahanya. Salah
satu penilaian terhadap kinerja perbankan adalah dengan melihat pada tingkat
rentabilitasnya (Prasetyo, 2009).
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
dan Daftar Istilah
Tingkat kinerja suatu bank
dapat diukur menggunakan analisis rasio keuangan yaitu rasio likuiditas,
solvabilitas, dan rentabilitas. Rasio keuangan tersebut dapat menggambarkan
sehat tidaknya operasional suatu bank, yang dapat ditinjau dari laporan
keuangan yaitu neraca dan laporan laba rugi
a.
Rasio
Rentabilitas
Menurut (Suciati, 1989), Rasio Rentabilitas, yaitu alat untuk menganalisa atau mengukur
tingkat efesiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh Bank yang
bersangkutan. Selain itu, rasio-rasio dalam kategori ini dapat pula digunakan
untuk mengukur tingkat kesehatan bank.
-
Return On
Asset (ROA), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank
dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan.
-
Return On
Equity (ROE), yaitu perbandingan diantara laba bersih bank dengan modal
sendiri. ROE ini merupakan indikator yang amat penting bagi para pemegang saham
dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank dalam memperoleh laba bersih
yang dikaitkan dengan pembagian deviden.
-
Rasio Beban
Operasional (BOPO), yaitu perbandingan antara beban operasional dengan pendapatan
operasional. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi bank dalam
melakukan kegiatan operasinya.
-
Net Profit
Margin (NPM) adalah rasio yang menggambarkan tingkat keuntungan bank,
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari kegiatan operasionalnya.
-
Net Operation
Margin (NOM) adalah rasio Pendapatan penyaluran dana setelah bagi hasil
dikurangi beban operasional yaitu pendapatan penyaluran dana setelah dikurangi
beban bagi hasil dan beban operasional lainnya, yang disetahunkan.[1]
b.
Rasio Likuiditas
Menurut (Suciati, 1989), rasio likuiditas adalah yang mengukur kemampuan bank untuk
memenuhi kewajiban finansial jangka pendeknya atau kewajiban yang telah jatuh
tempo. Rasio likuiditas meliputi:
-
Loan to
Deposit Ratio (LDR), yaitu rasio antara jumlah seluruh kredit yang diberikan
Bank dengan dana yang diterima oleh Bank. LDR menyatakan seberapa jauh
kemampuan bank untuk membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan
dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya.
-
Loan to Asset
Ratio (LAR), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank
yang menunjukkan kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit dengan
menggunakan total asset yang dimiliki bank. Semakin tinggi rasio ini, tingkat
likuiditasnya semakin kecil karena jumlah asset yang diperlukan untuk membiayai
kreditnya menjadi semakin besar.
c.
Rasio Solvabilitas
Menurut (Suciati, 1989), Rasio Solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya, atau kemampuan bank
untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya jika terjadi likuiditasi Bank.
-
Capital
Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh aset bank
yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank
lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank di samping memperoleh
dana-dana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman
(hutang), dan lain-lain.
-
Debt to
Equity Ratio (DER), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank
dalam menutup sebagian atau seluruh hutang-hutangnya, baik jangka panjang
maupun jangka pendek dengan dana yang berasal dari dana bank sendiri.
d.
Dana
Pihak Ketiga
Dana pihak ketiga adalah dana
yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu (UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1)
Komponen Dana Pihak Ketiga
(DPK):
a. Giro Nasabah, yaitu simpanan masyarakat yang penarikannya dapat
dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro atau surat perintah
pemindahbukuan yang lain.
b. Tabungan, yaitu simpanan masyarakat yang penarikannya dapat
dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat
ditarik dengan menggunakan cek, bilyet giro atau yang dipersamakan dengan itu.
c. Deposito Berjangka, dalam pos ini termasuk deposito berjangka
dalam rupiah yang penarikannya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan perjanjian yang disepakati antar bank dengan pihak ketiga.
Walaupun deposito telah jatuh tempo namun belum ditarik oleh deposan maka tetap
dimasukkan dalam komponen ini.
d. Sertifikat Deposito, yaitu simpanan berjangka yang penarikannya
dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan tetapi
dapat diperjualbelikan. (Imam Tofan B.S , Patricia Dhiana
P., 2017)
e.
Pembiayaan
Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan
bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.[2]
f.
Non Performing Financing (NPF)
−
Non Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan dengan kualitas kurang
lancar, diragukan, dan macet sesuai POJK Nomor 19
/POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
16/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah
−
Rasio Non Performing Financing (NPF) Gross
adalah persentase Pembiayaan Bermasalah dibagi Total Aset.
−
Rasio Non Performing Financing (NPF) Net adalah persentase Pembiayaan Bermasalah dikurangi
CKPN Pembiayaan Bermasalah dibagi Total Aset.
−
Pembiayaan
adalah pembiayaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penilaian kualitas aset BUS dan UUS.
−
Pembiayaan
hanya mencakup pembiayaan kepada pihak ketiga bukan bank.
−
Pembiayaan
bermasalah adalah pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan
macet.
−
Pembiayaan
bermasalah dihitung berdasarkan nilai tercatat dalam neraca, secara gross
(sebelum dikurangi CKPN).
−
Total
Pembiayaan dihitung berdasarkan nilai tercatat dalam neraca, secara gross
(sebelum dikurangi CKPN)
−
CKPN
Pembiayaan Bermasalah adalah cadangan yang wajib dibentuk Bank untuk pembiayaan
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet sesuai ketentuan dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan
Syariah Indonesia (PAPSI), yang mencakup CKPN pembiayaan secara individual dan
kolektif.[3]
g.
Laba
Menurut
Soemarsono (Kholifah, 2015) pengertian laba yaitu: “Laba adalah selisih lebih pendapatan
atas beban-beban sehubungan dengankegiatan usaha oleh karena laba adalah hasil
pengurangan beban terhadappendapatan, maka kunci kelayakan penetapan laba atau
rugi adalah menentukan jumlah pendapatan yang dihasilkan dan jumlah beban
yangterjadi dalam periode bersangkutan.”.
Laba sebelum
pajak menurut Islahuzzaman (2012:239) disebut juga laba operasi bersih (Net
Operating Income) yaitu penghasilan sebelum dikurangi bunga dan pajak
penghasilan. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung
laba sebelum pajak adalah: EBT = Pendapatan - Biaya (tidak termasuk beban pajak)
Laba bersih
menurut Islahuzzaman (2012:238) merupakan laba yang diperoleh setelah dikurangi
pajak penghasilan. Hery (2013:267) mengemukakan bahwa laba bersih (net income)
adalah laba operasi ditambah pendapatan non operasi (seperti pendapatan bunga),
dikurangi biaya non operasi (seperti biaya bunga), dan dikurangi pajak
penghasilan.
h.
Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO)
Menurut Pandia
(2012:72) bahwa BOPO/Biaya Operasional Pendapatan Operasional ratio yang sering
disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank
dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. (Harun, 2016)
-
Rumus:
Total Beban perasional/Total Pendapatan operasional
-
Beban
perasional yaitu seluruh beban operasional termasuk beban bagi hasil, bonus,
dan imbalan
-
Pendapatan
operasional yaitu seluruh pendapatan margin, bagi hasil, dan
imbalan serta pendapatan operasional lainnya.
-
Angka
dihitung per posisi tidak disetahunkan[4]
BAB II
PERBANDINGAN
LAPORAN KEUANGAN PUBLIKASI
PT.
Bank Syariah Mandiri dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk
Periode
Triwulan II Tahun 2020 dan Triwulan II Tahun 2019
1. Ikhtisar
Data Keuangan dan Rasio Keuangan[5]
2. Analisa
Struktur Dana Pihak Ketiga (DPK)
DPK yang tinggi akan memberikan pengaruh yang besar kepada
kemampuan Bank dalam ekspansi menyalurkan pembiayaan dan tingkat likuiditas
Bank. Permintaan terhadap pembiayaan yang cukup tinggi harus diimbangi dengan
dana yang tersedia, semakin besar DPK yang dapat dihimpun oleh Bank, maka
semakin banyak jumlah dana yang dapat disalurkan dalam bentuk aktiva produktif
seperti pembiayaan, surat berharga, penyertaan, dan aktiva produktif lainnya
Dari sisi struktur pendanaan, DPK BSM pada Q2- 2020 dan
Q2-2019, komposisi dana murahnya (CASA) cukup tinggi mencapai 57,93% pada
Q2-2020 dan 54,28% pada Q2-2019, sementara struktur DPK pada BMI didominasi
dengan dana mahal (Deposito) yang mencapai 54,26% pada Q2-2020 dan 54,30% pada
Q2-20019, artinya secara pendanaan BSM lebih baik dibanding BMI, karena dengan
struktur dana yang didominasi dengan dana murah (CASA) hal ini dapat mendorong
pemberian pembiayaan di sisi aset yang semakin tinggi juga, karena biaya dana
yang diperhitungkan dalam perhitungan margin yang diinginkan BSM akan kecil,
artinya produk pembiayaan BSM akan lebih kompetitif dibanding BMI.
3. Analisa
Struktur Pembiayaan
Pembiayaan yang disalurkan BSM
mengalami peningkatan dari Q2-2019: Rp.71.202.799 juta sampai dengan Q2-2020: Rp75.428.738
juta, sementara pembiayaan pada BMI mengalami penurunan dari
Q2-2019: Rp29.877.217 juta manjadi Rp29.074245 juta di Q2-2020. Hal ini
berbanding lurus dan sangat berkaitan erat dengan tingkat kenaikan dan penurunan
dari sisi DPK.
Dilihat dari struktur
pembiayaannya, BMI lebih mengedepankan konsep pembiayaan berbagi hasil, dapat
dilihat pada Q2-2010 total pembiayaan bagi hasil (Musyarakah dan Mudharabah)
sebesar Rp14.888.001 juta atau 51,21% dari total pembiayaan dan pada Q2-2019
sebesar Rp14.963.398 juta atau 50,08% dari total pembiayaan, hal ini berbeda
dengan BSM yang lebih memilih strategy pembiayaan konsep jual beli (Murabahah),
dapat dilihat pada Q2-2020 total mebiayaan Murabahah mencapai Rp40.077.362 juta
atau 53,13% dari total pembiayaan dan Q2-2019 mencapai Rp39.397.740 juta atau
55,33% dari total pembiayaan.
Dilihat dari penyaluran
pembiayaan kepada UMKM, BMI sudah cukup baik secara prosentase pembiayaan
kepada UMKM terhadap total pembiayaan, dimana rasionya mencapai 18,41% pada
Q2-2020 dan 19,67% pada Q2-2019, sementara rasio UMKM terhadap total pembiayaan
BSM hanya mencapai 10,61% pada Q2-2020 dan 13,27% pada Q2-2019, meskipun rasio
UMKM tersebut belum sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Rasio minumum
pembiayaan UMKM terhadap total pembiayaan yang diminta Bank Indonesia adalah
20%.
4. Analisa
Risiko Rentabilitas
Dilihat dari rasio
risiko rentabilitas, BSM lebih baik dibanding BMI pada posisi Q2-2020 dan Q2-2019.
Semakin tinggi rasio rentabilitas
maka kinerja suatu Bank semakin baik. Rasio BSM sangat jauh mengungguli BMI
dari rasio ROE, pada Q2-2020 rasio BSM mencapai 15,71% sementara BMI hanya
mencapai 0,30% dan pada Q2-2019 rasio BSM mencapai 14,01% sementara BMI hanya
mencapai 0,27%. Begitupun rasio lainnya seperti ROA, NI dan NOM, BSM lebih baik
dibandingkan BMI pad aQ2-202 dan Q2-2019.
5. Analisa
Risiko Likuiditas
Kriteria
Penilaian Peringkat FDR |
|
Peringkat Komposit 1 |
50%<FDR ≤ 75% |
Peringkat Komposit 2 |
75%<FDR ≤ 85% |
Peringkat Komposit 3 |
85%<FDR ≤ 100% |
Peringkat Komposit 4 |
100% <FDR ≤ 120% |
Peringkat Komposit 5 |
FDR > 120% |
Sumber: SE Bank Indonesia No.6/23/DPNP tahun 2004
Dilihat dari rasio risiko likuiditas, kinerja BSM sebanding dengan BMI per posisi Q2-2020 dan Q2-2019, artinya pada periode Q2-2020 dan Q2-2019, BSM maupun BMI dalam konidisi aman dari sisi likuiditasnya.
6. Analisa
Risiko Solvabilitas
Dilihat dari risiko
solvabilitas, kinerja BSM lebih baik dibandingkan dengan BMI, dimana rasio
KPMM/CAR BSM per posisi Q2-2020 adalah 17,41% atau lebih tinggi 5,28% dibanding
BMI yang rasio CAR nya adalah 12,13%, begitu juga pada Q2-2019, rasio BSM lebih
baik dibandingkan BMI, dimana rasio BSM mencapai 15,84% atau lebih tinggi 3,83%
dibanding rasio CAR BMI yan mencapai 12,01%. Rasio KPMM menurut OJK adalah 8%,
oleh karena itu rasio KPMM BSM dan BMI
sesuai dengan ketentuan OJK.
Dari sisi
permodalan, BSM memiliki modal yang cukup tinggi dibandingkan dengan BMI, dimana
modal yang kuat akan memberikan stimulus kepada manajemen dan seluruh karyawan untuk
terus ekspansi, yang akhirnya mendapatkan keuntungan yang besar. Dengan kondisi
permodalan tersebut maka BSM termasuk kategori BUKU 3, sementara BMI termasuk
BUKU 2.
-
BUKU 2 adalah Bank dengan
Modal Inti paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
sampai dengan kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah);
-
BUKU 3 adalah Bank dengan
Modal Inti paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah)
sampai dengan kurang dari Rp30.000.000.000.000,00 (tiga puluh triliun rupiah).[6]
7. Analisa
Rasio NPF
- NPF Gross
Rasio
NPF gross BSM lebih baik dibanding Rasio
NPF gross BMI pada periode Q2-2020 sebesar 2,57% dan pada Q2-2019 sebesar 2,89%,
rasio NPF tersebut menunjukkan adanya perbaikan di BSM.
Rasio
NPF gross BSM mengalami perbaikan dari Q2-2019 ke Q2-2020, sementara rasio-rasio
NPF BMI mengalami penurunan pada Q2-2020 mencapai 5,70% dan pada Q2-2019
mencapai 5,41%.
Rasio
NPF gross BSM dan BMI dapat terjaga hingga Q2-20, selain dari hasil strategy
pengelolaan yang telah dilakukan oleh masing-masing Bank, hal ini juga
disebabkan dukungan relaksasi yang dikeluarkan OJK melalui peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Nomor 11 /POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang berlaku sampai dengan 31 Maet
2021 dan POJK Nomor 48 /POJK.03/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional
Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019
yang berlaku sampai dengan 31 Maret
2022.
Dalam
POJK Nomor 11/POJK.03/2020 Pada Bab I pasala 2
ayat 2 diatur kebijakan yang mendukung
stimulus pertumbuhan ekonomi sebagaimana meliputi kebijakan penetapan kualitas
aset dan kebijakan restrukturisasi pembiayaan atau pembiayaan dan pada Bab II
Pasal 3 ayat 1 diatur penetapan kualitas aset berupa pembiayaan dan penyediaan
dana lain pada BUS, bagi debitur yang terkena dampak penyebaran coronavirus
disease 2019 (COVID-19) termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah
dengan plafon paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat
didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga atau margin/bagi
hasil/ujrah serta Bab III pasal 5 ayat 1 disebutkan juga kualitas pembiayaan
atau pembiayaan yang direstrukturisasi ditetapkan lancar sejak dilakukan
restrukturisasi.
Ketiga Bank Syari’ah dapat
memanfaatkan relaksasi POJK No.11 /POJK.03/2020 dan POJK No. 48 /POJK.03/2020
untuk menjaga rasio NPF gross tersebut sampai dengan 31 Maret 2022, namun
ketiga Bank Syariah tersebut harus mempersiapkan strategy penjagaan rasio NPF
untuk menghadapi masa setelah selesainya relaksasi POJK No. 48 /POJK.03/2020
tersbut.
- NPF Net
Rasio
NPF net BSM jauh lebih baik sebagaimana halnya rasio NPF gross BSM juga lebih
baik dibandingkan dengan BMI pada
Q2-2020 dan Q2-2019, dimana perbaikan rasio NPF gross ke rasio NPF nett
mencapai 1,69% pada Q2-2020 dan 1,68% pada Q2-2019, hal ini menunjukan BSM
masih sangat sehat dengan kemampuan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN) yang tinggi atas pembiayaan bermasalah, sementara BMI kemampuan
membentuk CKPN juga sangat rendah, sebesar 0,73% pada Q2-2020 dan 0,88% pada
Q2-2019.
Kemampuan
pembentuan PPAP atau CKPN yang rendah pada BMI terlihat juga pada selisih
kurang antara Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) dan Cadangan Kerugian Penurunan
Nilai (CKPN) atas aset produkti yang diperhitungkan dalam perhitungan KPMM
sebesar Rp466.321 juta pada Q2-2020 dan Rp245.616 juta pada Q2-2019.
Rasio
NPF net BMI jauh lebih rendah dibanding dengan BSM, namun BMI sampai Q2-2020
masih dapat mengelola rasio NPF dibawah 5% sesuai dengan ketentuan OJK, BMI
juga masih memiliki kemampuan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai
(CKPN), meskipun tidak sebesar BSM untuk memperbaiki rasio NPF gross yang di
atas 5% menjadi NPF Net dibawah 5%, hal ini menunjukan BMI masih sehat karena
masih dapat mengelola rasio keuangan sesuai dengan peraturan OJK.
8. Analisa
Laba Sebelum Pajak (EBT) dan Laba Setelah Pajak (EAT)
- EBT
- EAT
Berdasarkan
data di atas, BSM memperoleh laba sebelum pajak dan laba setelah pajak yang
lebih baik dibanding dengan BMI, pada Q2-2020 perolehan EBT BSM mencapai
Rp892.231 juta atau mengalami kenaikan 32,77% atau sebesar Rp242.420 juta
dibandingkan dengn Q2-2019, sementara BMI mengalami penurunan pada Q2-2020:
2,76% atau sebesar 187 juta dibandingkan dengan Q2-2019.
9.
Analisa Rasio Efisiensi (BOPO)
Berdasarkan
data di atas, BSM lebih efisien dibandingkan BMI pada Q2-2020 dan Q2-2019,
dimana rasio BOPO BSM sebesar 81,26% pada Q2-2020 atau lebih baik 16,93%
dibandingkan dengan rasio BOPO BMI yang rasio BOPO nya mencapai 98,19%, begitu
pula pada Q-2 2019, rasio BOPO BSM sebesar 83,91%, atau lebih baik 15,13%
dibandingkan dengan rasio BOPO BMI yang rasio BOPO nya mencapai 99,04.
KESIMPULAN
-
Dana Pihak Ketiga (DPK): BSM
memiliki struktur DPK yang lebih stabil karena DPK nya didominasi dengan dana
CASA (dana murah), serta DPK BSM mengalami peningkatan dari Q2-2020 dibandingkan
dengan Q2-2019, sementara DPK BMI didominasi dana mahal atau deposito, dan
mengalami penurunan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019.
-
Pembiayaan: Total pembiayaan
BSM mengalami peningkatan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019, sementara
BMI mengalami penurunan pembiayaan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019.
-
Rasio rentabilitas:
Kinerja BSM memiliki rasio rentabilitas yang lebih baik dibanding BMI pada
posisi Q2-2020 dan Q2-2019
-
Rasio likuiditas: Kinerja
BSM sebanding dengan BMI per posisi Q2-2020 dan Q2-2019, artinya pada periode
Q2-2020 dan Q2-2019, BSM maupun BMI dalam kondisi aman dari sisi likuiditasnya
-
Rasio solvabilitas: Kinerja
BSM lebih baik dibandingkan dengan BMI, dimana rasio KPMM/CAR BSM per posisi
Q2-2020 adalah 17,41% atau lebih tinggi 5,28% dibanding BMI yang rasio CAR nya
adalah 12,13%, begitu juga pada Q2-2019, rasio BSM lebih baik dibandingkan BMI,
dimana rasio BSM mencapai 15,84% atau lebih tinggi 3,83% dibanding rasio CAR BMI
yan mencapai 12,01%. Rasio KPMM menurut OJK adalah 8%, oleh karena itu rasio
KPMM BSM dan BMI sesuai dengan ketentuan
OJK
-
Laba sebelum pajak dan
laba setelah pajak: Total laba sebelum pajak dan laba setelah pajak BSM
mengalami peningkatan pada Q2-2020 dibandingkan dengan Q2-2019, sementara BMI mengalami
penurunan laba sebelum pajak dan setelah pajak pada Q2-2020 dibandingkan dengan
Q2-2019
-
Rasio NPF: Rasio NPF gross BSM leboh baik
dibandingkan denan rasio NPF BMI serta mengalami perbaikan dari Q2-2019 ke
Q2-2020, sementara rasio-rasio NPF BMI mengalami penurunan pada Q2-2020
mencapai 5,70% dan pada Q2-2019 mencapai 5,41%.
-
Rasio efisiensi: Rasio
BOPO BSM lebih
efisien dibandingkan BMI pada Q2-2020 dan Q2-2019, dimana rasio BOPO BSM
sebesar 81,26% pada Q2-2020 atau lebih baik 16,93% dibandingkan dengan rasio
BOPO BMI yang rasio BOPO nya mencapai 98,19%, begitu pula pada Q-2 2019, rasio
BOPO BSM sebesar 83,91%, atau lebih baik 15,13% dibandingkan dengan rasio BOPO
BMI yang mencapai 99,04%.
Harun, U. (2016). Pengaruh Ratio-Ratio Keuangan CAR,
LDR, NIM, BOPO, NPL Terhadap ROA. Pengaruh Ratio-Ratio Keuangan CAR, LDR,
NIM, BOPO, NPL Terhadap ROA, 4, 67–82.
Imam Tofan B.S , Patricia Dhiana P., R. A. (2017). Pengaruh
Dana Pihak Ketiga (DPK), Non Perfoming Loan (NPL) Dan Modal Terhadap Penyaluran
Kredit Dan Profitabilitas Pada Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
(BEI) Tahun 2011 – 2015. 1–15.
Kholifah, M. at. al. (2015). Analisis Pembiayaan Musyarakah
Terhadap Laba Bersih Pada Pt Bank Muamalat Indonesia. Jurnal Measurement,
9(3).
Romdhoni, A. H. (2016). Analisis Likuiditas Berbasis Laporan
Keuangan Bri Syariah Tahun 2013 – 2015. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 2(02),
1–10. https://doi.org/10.29040/jiei.v2i02.46
Suciati. (1989). Kinerja Keuangan Berdasarkan Rasio
Likuiditas, Rentabilitas, dan Solvabilitas Perbankan Syariah Pada PT Bank
Muamalat Indonesia Tbk. Periode 2011-2013. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(10), 160.
POJK Nomor
6/POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal
Inti Bank.
POJK Nomor
19/POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
16/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah.
UU RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan.
SEOJK
Nomor 10 /SEOJK.03/2020 Tentang Transparansi Dan
Publikasi Laporan Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.
https://www.bankmuamalat.co.id/
https://www.mandirisyariah.co.id/
https://www.ojk.go.id/id/Default.aspx
[1] SEOJK Nomor 10 /SEOJK.03/2020 Tentang Transparansi Dan Publikasi Laporan
Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.
[2] UU RI Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
[3] POJK Nomor
19 /POJK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
16/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Syariah Dan Unit
Usaha Syariah.
[4] SROJK Nomor 10/SEOJK.03/2020 Tentang
Transparansi Dan Publikasi Laporan Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah.
[6] POJK Nomor 6/POJK.03/2016 Tentang Kegiatan Usaha Dan Jaringan Kantor
Berdasarkan Modal Inti Bank.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar