Rabu, 13 Januari 2021

MANAJEMEN KEUANGAN BANK SYARIAH - Task III (Artikel)

 

RISIKO PEMBIAYAAN DAN IMBAL HASIL BANK SYARIAH

 

I.     PENDAHULUAN

Perbankan adalah industri keuangan yang sarat akan resiko. Kegiatan bank yang utama adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan maupun dalam bentuk investasi yang lain. Perbankan sebagai lembaga intermediasi atau perantara keuangan harus memastikan bahwa dana yang dihimpun dan disalurkan bebas dari ancaman risiko. Risiko atas kegiatan mobilisasi dana yang tidak lancar dapat mendatangkan suatu potensi kerugian bank apabila tidak diantisipasi dengan baik.

Penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank dimasa mendatang, meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi yang dugunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank, serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank (Rivai dan Arifin 2013: 941). Mayoritas risiko yang dihadapi perbankan konvensional seperti risiko kredit, risiko pasar,  risiko likuiditas dan risiko lainnya juga dihadapi oleh perbankan syariah. Namun perbankan syariah juga menghadapi risiko imbal hasil dan risiko investasi sebagai konsekuensi atas tuntutan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.

Salah satu prinsip syariah adalah adanya prinsip bagi hasil. Penerapan prinsip bagi hasil terdapat dalam akad tijari natural uncertainty contract (NUC) dimana penentuan profit secara alamiah tidak dapat dipastikan, yakni segala jenis akad transaksi bisnis dimana diawal perjanjian belum dapat dipastikan hasilnya. Para pihak yang berakad di awal perjanjian hanya menyepakati nisbah atau besaran persentase bagi hasil untuk masing-masing pihak dari hasil yang akan diperoleh. Hal ini berarti masyarakat yang menabung maupun yang menjadi debitur pembiayaan di bank syariah ikut terekspos perkembangan bisnis bank dengan sistem bagi hasil. Sementara bank terekspos risiko imbal hasil, yaitu risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima bank dari penyaluran dana sehingga secara langsung mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank (Achmad Boys 2020:228).

Selain risiko imbal hasil, risiko pembiayaan juga melekat pada perbankan syariah. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang dimaksud dengan risiko pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain dalam memnuhi kewajiban kepada bank sesuai sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Risiko ini muncul ketika bank mendapatkan ketidakpastian atau bahkan tidak mendapatkan pelunasan kredit dari debitur. Berdasarkan uraian tersebut maka fokus dalam makalah ini adalah manajemen risiko pada bank syariah khususnya pada risiko pembiayaan dan imbal hasil.

 

II.  PEMBAHASAN

Menurut Henz and Berg (2010:79) manajemen risiko merupakan suatu pembuatan keputusan yang berkontribusi terhadap tercapainya tujuan perusahaan dengan penerapan baik di tingkat individual dalam bidang fungsional. Perbankan sebagai industri keuangan sangat perlu memperhatikan terkait manajemen risiko.

1.      Risiko Pembiayaan Bank Syariah

Sebagai salah satu bentuk antisipasi dalam meminimalkan risiko pembiayaan adalah dengan risk management secara efektif dan efisien. Agar risk management ini efektif dan efisien langkah pertama yang dilakukan perbankan syariah adalah screeening kepada calon-calon nasabah pembiayaan.

Salah satu jenis pembiayaan yang paling banyak mendapatkan animo nasabah bank syariah Indonesia dan luar negeri adalah pembiayaan Mudharabah. Dalam kerjasama mudharabah, diberikan peluang bagi para pebisnis yang tidak mempunyai modal, sehingga dengan sistem ini sedikit banyaknya akan memberdayakan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kemitraan antara dirinya dan pemberi modal dalam menghasilkan keuntungan untuk dibagihasilkan sesuai dengan rasio yang telah disepakati.

Paling tidak ada tiga risiko yang paling dominan pada pembiayaan produk mudharabah, yaitu:

1. Risiko Kredit

2. Risiko adanya fluktuasi penurunan pendapatan usaha.

3. Risiko adanya ketidakakuratan informasi yang diberikan Nasabah.

Resiko yang terdapat dalammudharabah menurut Samsudin dkk (2003) relatif tinggi yaitu sebagai berikut :

1.    Sidestreaming; nasabah menggunakandana tersebut bukan seperti disebutdalam kontrak.

2.      Lalai dan kesalahan yang disengaja

3.      Penyembunyian keuntungan olehnasabah, bila nasabahnya tidak jujur(moralhazard)

4.      Ketika dana dikelola oleh mudharabi,akses informasi bank terhadap usahamudharib terbatas, sehingga mudharibmengetahui informasi yang tidak diketahui oleh bank. Inilah yangdisebut dengan asymmetric information.

Dengan demikian, mudharib dalam hal ini nasabah sebagai pengelola dana, tidak mempunyai kewajiban untukmenanggung resiko kerugian yang timbul. Kerugian yang dapat dibebankan kepada mudharib, adalah apabila kerugian tersebutdikarenakan kelalaian dan kecurangan yang dilakukannya.

Analisis Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Contracts adalah mengi-dentifikasi dan menganalisis dampak dariseluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memper-hitungkan risiko yang ada dari pembiayaanberbasis Natural Certainty Contracts, seperti murabahah, ijarah, ijarahmuntahiabittamlik, salam dan istishna’.

Analisis Risiko Pembiayaan Berbasis Natural Uncertainty Contracts adalah mengindentifikasi dan menganalisa dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts, seperti mudharabah dan musyarakah.

2.      Risiko Imbal Hasil Bank Syariah

Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank (OJK, 2016).

Risiko imbal hasil (rate of return risk) adalah potensi kerugian akibat pergerakan imbal hasil di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank. Bank syariah tidak mengalami risiko risiko suku bunga, karena harga untuk pembiayaan dan pendanaan tidak menggunakan tingkat suku bunga atau secara regulasi risiko imbal hasil adalah risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah risiko ini timbul karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak ketiga bank yang disebabkan oleh perubahan ekspetasi tingkat yang di terima dari bank syariah.

Risiko   imbal   hasil   pada   perbankan   syariah   adalah   risiko   yang   muncul   karena konsekuensi  akad  syirkah  (kerjasama)  yang  berupa  mudharabah  dan  musyarakah  sehingga berdampak pada munculnya profit and loss sharing(PLS). PLS adalah perjanjian kontraktual antara dua atau lebih pihak yang bertransaksi yang memungkinkan mereka untuk menyatukan sumber daya (modal) mereka untuk diinvestasikan dalam suatu proyek untuk berbagi dalam untung dan rugi finansial (Inten, 2016).

Menurut Al-Arif dan Yuke (2015) risiko imbal hasil serupa dengan risiko tingkat suku bunga yang terdapat di bank konvensional. Namun terdapat perbedaan antara risiko imbal hasil dengan risiko tingkat suku bunga yang ada di bank konvensional, sebagaimana yang terdapat dalam tabel berikut:

Item

Risiko Imbal Hasil

Risiko Tingkat Suku Bunga

Sumber Pendapatan

Bank syariah campuran dari investasi berbasis mark up dan investasi berbasis ekuitas sehingga  ketidakpastian lebih besar.

Bank Konvensional beroperasi pada surat berharga berpenghasilan tetap berbasis bunga pada aset sehingga ketidakpastian akan ketingkat kembalian yang diterima atas investasi yang dipegang sampai jatuh tempo akan lebih kecil.

Besaran Kembalian

Tingkat pengembalian simpanan di bank syariah telah diantisipasi , tetapi tidak disepakati sebelumnya . Selain itu, kembalian investasi yang berdasarkan kemitraan tidak akurat sampai akhir periode investasi.

Tingkat pengembalian dari simpanan di bank konvensional telah ditentukan sebelumnya.

Bank Syariah harus memiliki sistem yang tepat untuk identifikasi dan pengukuran faktor yang bisa meningkatkan risiko imbal hasil ini. Ketika dilakukan kalkulasi tingkat pengembalian bank syariah harus memakai metode gapping untuk alokasi posisi ke dalam time band untuk membagi jatuh tempo  dalam tanggal repricing. Tingkat aset yang tetap dan mengembang oleh bank syariah harus diklasifikasikan sesuai dengan tanggal piutangnya karena kembalian piutang ini mempresentasikan dana investasi mudharabah secara langsung dan memiliki keuntungan pemilikan dari aset. Arus kas yang aktual mengindikasikan gap pada time band yang ada, mempengaruhi kembalian pada periode itu. Bergantung dari kompleksitas dan sifat dari operasi usaha. Bank syariah dapat menggunakan teknik dari simple gap sampai simulasi yang mahir untuk pendekatan yang digunakan dapat diterima di estimasi pada periode pendapatan  masa depan, keberagamannya dan pendapatan akan memberikan hasil pada beragam tingkatan kembalian yang diharapkan nasabah mudharabah.

Konsekuensi dari risiko imbal hasil adalah risiko displaced commercial. Bank Syariah mungkin berada dibawah tekanan untuk membayar kembalian di atas rata-rata dari tingkat pendapatan yang dibiayai dari dana pemegang rekening investasi bagi hasil yang kinerja asetnya berkinerja dibawah pesaing. Bank Syariah dapat memutuskan untuk menggunakan bagian haknya untuk membagi seluruh share dan mudharib untuk menguntungkan pemegang rekening investasi sebagai keputusan komersil.

Proses pengukuran adalah penting untuk melihat potensi ancaman yang ada dan material serta dapat memberikan dampak pada posisi neraca. Bank syariah akan memastikan apakah mereka memahami karakteristik yang berbeda dari posisi neracanya pada mata uang yang berbeda dimana mereka beroperasi. Bank syariah harus menghitung jatuh tempo behavioral kontraktual dari transaksi dalam penilaian eksposur risiko ini, yang dalam konteks lingkungan dimana mereka beroperasi dan perubahan kondisi pasar, contohnya ialah pembiayaan lebih awal dari nasabah mudharabah , dan transaksi ijarah.

Bank syariah harus mampu menggunakan teknik neraca untuk meminimalisir eksposur menggunakan  beberapa strategi sebagai berikut :

    1. Menentukan rasio laba pada masa depan dibandingkan dengan ekspetasi kondisi  pasar
2. Menggunakan instrument baru yang sesuai syariah
3. Menerbitkan sekuritisasi tranches yang sesuai dengan aset yang diizinkan dalam ketentuan syariah.

 

III.   KESIMPULAN

Bank syariah berfungsi sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Pada sisi aktiva neraca bank syariah bagian terbesar dana operasional setiap bank syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kenyataan ini menggambarkan bahwa pembiayaan adalah sumber pendapatan bank yang terbesar, namun sekaligus merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar.

Bank syariah harus memiliki system pengawasan dan manajemen risiko yang tangguh. Dengan sistem ini, bank syariah dapat mendeteksi dan menghindari terjadinya mismanagement maupun kega-galan sistem dan prosedur pada bank syariah.

Risiko Imbal hasil (rate of return risk) adalah risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan LJK kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima LJK dari penyaluran dana, yang dapat memepengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga LJK. Rate of return risk merupakan potensi hilangnya dana pihak ketiga (DPK) lantaran imbal hasil simpanan di bank syariah fluktuatif. Untuk membantu pengelolaan risiko imbal hasil di bank syariah, BI akan mengizinkan penerapan Profit Equalization Reserve (PER/dana cadangan).

Risiko imbal  hasil  timbul  karena  antara  lain  adanya  perubahan  perilaku  nasabah  dana  pihak ketiga bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima dari bank. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti menurunnya nilai aset bank  atau  faktor  eksternal  seperti  naiknya  return  imbal  hasil  yang  ditawarkan  bank  lain.Risiko imbal hasil harus dijelaskan kepada nasabah calon deposan melalui literasi dan inklusi keuangan  syariah  secara  rutin  dan  terukur,  sehingga  nasabah dalam  menempatkan  dananya bukan lagi keuntungan semata yang dicari melainkan “saving” keamanan dalam menyimpan uang.

  

IV.   DAFTAR PUSTAKA

Al – Arif, Nur, M dan Rahmawati, Y. (2015). Manajemen Risiko Bank Syariah, Universitas Islam Negeri Jakarta.

AL-Infaq: Jurnal Ekonomi Islam, (ISSN: 2087-2178, e-ISSN: 2579-6453) Vol. 11, No. 2, (2020)

Arifin, Zainul. 2009. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.

Bank Indonesia, 2011. Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Lembaran Negara republik Indonesia nomor 103 Dpbs.

Henz and Berg. 2010. Risk Management, Procedure, Methods, And Experiences, Journal RT & A, Vol. 1, No. 2.

M. Sholahuddin, Risiko Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah, Vol. 8, No. 2, Desember 2004

Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2016. Statistik Perbankan Syariah Periode Juni 2016. Jakarta : Otoritas Jasa Keuangan.

www.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar