RISIKO PEMBIAYAAN DAN IMBAL HASIL BANK SYARIAH
I. PENDAHULUAN
Perbankan adalah industri keuangan yang sarat akan resiko. Kegiatan bank
yang utama adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan maupun dalam bentuk investasi yang
lain. Perbankan sebagai lembaga intermediasi atau perantara keuangan harus
memastikan bahwa dana yang dihimpun dan disalurkan bebas dari ancaman risiko.
Risiko atas kegiatan mobilisasi dana yang tidak lancar dapat mendatangkan suatu
potensi kerugian bank apabila tidak diantisipasi dengan baik.
Penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank
mengenai kemungkinan kerugian bank dimasa mendatang, meningkatkan metode dan
proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan
informasi yang dugunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai
kinerja bank, serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam
rangka meningkatkan daya saing bank (Rivai dan Arifin 2013: 941). Mayoritas
risiko yang dihadapi perbankan konvensional seperti risiko kredit, risiko
pasar, risiko likuiditas dan risiko
lainnya juga dihadapi oleh perbankan syariah. Namun perbankan syariah juga
menghadapi risiko imbal hasil dan risiko investasi sebagai konsekuensi atas
tuntutan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.
Salah
satu prinsip syariah adalah adanya prinsip bagi hasil. Penerapan prinsip bagi
hasil terdapat dalam akad tijari natural
uncertainty contract (NUC) dimana penentuan profit secara alamiah tidak
dapat dipastikan, yakni segala jenis akad transaksi bisnis dimana diawal
perjanjian belum dapat dipastikan hasilnya. Para pihak yang berakad di awal
perjanjian hanya menyepakati nisbah atau besaran persentase bagi hasil untuk
masing-masing pihak dari hasil yang akan diperoleh. Hal ini berarti masyarakat
yang menabung maupun yang menjadi debitur pembiayaan di bank syariah ikut
terekspos perkembangan bisnis bank dengan sistem bagi hasil. Sementara bank
terekspos risiko imbal hasil, yaitu risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil
yang dibayarkan bank kepada nasabah, karena terjadi perubahan tingkat imbal
hasil yang diterima bank dari penyaluran dana sehingga secara langsung
mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga bank (Achmad Boys 2020:228).
Selain risiko imbal hasil, risiko pembiayaan juga melekat pada perbankan
syariah. Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, yang dimaksud
dengan risiko pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak lain
dalam memnuhi kewajiban kepada bank sesuai sesuai dengan perjanjian yang
disepakati. Risiko ini muncul ketika bank mendapatkan ketidakpastian atau
bahkan tidak mendapatkan pelunasan kredit dari debitur. Berdasarkan uraian tersebut
maka fokus dalam makalah ini adalah manajemen risiko pada bank syariah
khususnya pada risiko pembiayaan dan imbal hasil.
II. PEMBAHASAN
Menurut Henz and Berg (2010:79) manajemen risiko merupakan suatu pembuatan
keputusan yang berkontribusi terhadap tercapainya tujuan perusahaan dengan
penerapan baik di tingkat individual dalam bidang fungsional. Perbankan sebagai
industri keuangan sangat perlu memperhatikan terkait manajemen risiko.
1. Risiko
Pembiayaan Bank Syariah
Sebagai salah satu bentuk
antisipasi dalam meminimalkan risiko pembiayaan adalah dengan risk management
secara efektif dan efisien. Agar risk management ini efektif dan efisien
langkah pertama yang dilakukan perbankan syariah adalah screeening kepada
calon-calon nasabah pembiayaan.
Salah satu jenis pembiayaan
yang paling banyak mendapatkan animo nasabah bank syariah Indonesia dan luar
negeri adalah pembiayaan Mudharabah. Dalam
kerjasama mudharabah, diberikan peluang bagi para pebisnis yang tidak mempunyai
modal, sehingga dengan sistem ini sedikit banyaknya akan memberdayakan potensi
masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi atas dasar kemitraan antara dirinya
dan pemberi modal dalam menghasilkan keuntungan untuk dibagihasilkan sesuai
dengan rasio yang telah disepakati.
Paling tidak ada
tiga risiko yang paling dominan pada pembiayaan produk mudharabah, yaitu:
1. Risiko Kredit
2. Risiko adanya fluktuasi penurunan
pendapatan usaha.
3. Risiko adanya ketidakakuratan
informasi yang diberikan Nasabah.
Resiko yang
terdapat dalammudharabah menurut Samsudin dkk (2003) relatif tinggi yaitu
sebagai berikut :
1.
Sidestreaming;
nasabah menggunakandana tersebut bukan seperti disebutdalam kontrak.
2.
Lalai
dan kesalahan yang disengaja
3.
Penyembunyian
keuntungan olehnasabah, bila nasabahnya tidak jujur(moralhazard)
4.
Ketika
dana dikelola oleh mudharabi,akses informasi bank terhadap usahamudharib
terbatas, sehingga mudharibmengetahui informasi yang tidak diketahui oleh bank. Inilah yangdisebut dengan
asymmetric information.
Dengan demikian, mudharib dalam hal ini nasabah
sebagai pengelola dana, tidak mempunyai kewajiban untukmenanggung resiko
kerugian yang timbul. Kerugian yang dapat dibebankan kepada mudharib, adalah
apabila kerugian tersebutdikarenakan kelalaian dan kecurangan yang
dilakukannya.
Analisis Risiko Pembiayaan
Berbasis Natural Certainty Contracts adalah mengi-dentifikasi dan menganalisis
dampak dariseluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil
sudah memper-hitungkan risiko yang ada dari pembiayaanberbasis Natural
Certainty Contracts, seperti murabahah, ijarah, ijarahmuntahiabittamlik, salam
dan istishna’.
Analisis Risiko Pembiayaan
Berbasis Natural Uncertainty Contracts adalah mengindentifikasi dan menganalisa
dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil
sudah memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis Natural
Uncertainty Contracts, seperti mudharabah dan musyarakah.
2. Risiko
Imbal Hasil Bank Syariah
Risiko Imbal Hasil (Rate of Return Risk) adalah risiko
akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan Bank kepada nasabah,
karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima Bank dari penyaluran
dana, yang dapat mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga Bank (OJK,
2016).
Risiko imbal hasil (rate of return risk) adalah potensi kerugian akibat pergerakan
imbal hasil di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank. Bank
syariah tidak mengalami risiko risiko suku bunga, karena harga untuk pembiayaan
dan pendanaan tidak menggunakan
tingkat suku bunga atau secara regulasi risiko imbal hasil adalah risiko akibat
perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada nasabah risiko ini
timbul karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak ketiga bank yang
disebabkan oleh perubahan ekspetasi tingkat yang di terima dari bank syariah.
Risiko imbal
hasil pada perbankan
syariah adalah risiko
yang muncul karena konsekuensi akad
syirkah (kerjasama) yang
berupa mudharabah dan
musyarakah sehingga berdampak
pada munculnya profit and loss sharing(PLS). PLS adalah perjanjian kontraktual
antara dua atau lebih pihak yang bertransaksi yang memungkinkan mereka untuk
menyatukan sumber daya (modal) mereka untuk diinvestasikan dalam suatu proyek
untuk berbagi dalam untung dan rugi finansial (Inten, 2016).
Menurut Al-Arif dan Yuke (2015) risiko
imbal hasil serupa dengan risiko tingkat suku bunga yang terdapat di bank
konvensional. Namun terdapat perbedaan antara risiko imbal hasil dengan risiko
tingkat suku bunga yang ada di bank konvensional, sebagaimana yang terdapat dalam
tabel berikut:
Item |
Risiko Imbal
Hasil |
Risiko Tingkat
Suku Bunga |
Sumber
Pendapatan |
Bank syariah
campuran dari investasi berbasis mark up dan investasi berbasis ekuitas
sehingga ketidakpastian lebih besar. |
Bank
Konvensional beroperasi pada surat berharga berpenghasilan tetap berbasis
bunga pada aset sehingga ketidakpastian akan ketingkat kembalian yang
diterima atas investasi yang dipegang sampai jatuh tempo akan lebih kecil. |
Besaran
Kembalian |
Tingkat
pengembalian simpanan di bank syariah telah diantisipasi , tetapi tidak
disepakati sebelumnya . Selain itu, kembalian investasi yang berdasarkan
kemitraan tidak akurat sampai akhir periode investasi. |
Tingkat
pengembalian dari simpanan di bank konvensional telah ditentukan sebelumnya. |
Bank Syariah harus memiliki sistem yang
tepat untuk identifikasi dan pengukuran faktor yang bisa meningkatkan risiko
imbal hasil ini. Ketika dilakukan kalkulasi tingkat pengembalian bank syariah
harus memakai metode gapping untuk alokasi posisi ke dalam time band untuk
membagi jatuh tempo dalam tanggal
repricing. Tingkat aset yang tetap dan mengembang oleh bank syariah harus
diklasifikasikan sesuai dengan tanggal piutangnya karena kembalian piutang ini
mempresentasikan dana
investasi mudharabah secara langsung dan memiliki keuntungan pemilikan dari
aset. Arus kas yang aktual mengindikasikan gap pada time band yang ada,
mempengaruhi kembalian pada periode itu. Bergantung dari kompleksitas dan sifat
dari operasi usaha. Bank syariah dapat menggunakan teknik dari simple gap
sampai simulasi yang mahir untuk pendekatan yang digunakan dapat diterima di
estimasi pada periode pendapatan masa
depan, keberagamannya dan pendapatan akan memberikan hasil pada beragam
tingkatan kembalian yang diharapkan nasabah mudharabah.
Konsekuensi dari
risiko imbal hasil adalah risiko displaced commercial. Bank Syariah mungkin
berada dibawah tekanan untuk membayar kembalian di atas rata-rata dari tingkat
pendapatan yang dibiayai dari dana pemegang rekening investasi bagi hasil yang
kinerja asetnya berkinerja dibawah pesaing. Bank Syariah dapat memutuskan untuk
menggunakan bagian haknya untuk membagi seluruh share dan mudharib untuk
menguntungkan pemegang rekening investasi sebagai keputusan komersil.
Proses pengukuran adalah penting untuk
melihat potensi ancaman yang ada dan material serta dapat memberikan dampak
pada posisi neraca. Bank syariah akan memastikan apakah mereka memahami
karakteristik yang berbeda dari posisi neracanya pada mata uang yang berbeda
dimana mereka beroperasi. Bank syariah harus menghitung jatuh tempo behavioral
kontraktual dari transaksi dalam penilaian eksposur risiko ini, yang dalam
konteks lingkungan dimana mereka beroperasi dan perubahan kondisi pasar,
contohnya ialah pembiayaan lebih awal dari nasabah mudharabah , dan transaksi
ijarah.
Bank syariah harus mampu
menggunakan teknik neraca untuk meminimalisir eksposur menggunakan beberapa strategi sebagai berikut :
1. Menentukan rasio laba pada masa depan dibandingkan
dengan ekspetasi kondisi pasar
2. Menggunakan instrument baru yang sesuai syariah
3. Menerbitkan sekuritisasi tranches yang sesuai dengan
aset yang diizinkan dalam ketentuan syariah.
III.
KESIMPULAN
Bank syariah berfungsi sebagai lembaga
intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang
membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Pada sisi aktiva neraca bank syariah
bagian terbesar dana operasional setiap bank syariah disalurkan dalam bentuk
pembiayaan. Kenyataan ini menggambarkan bahwa pembiayaan adalah sumber
pendapatan bank yang terbesar, namun sekaligus merupakan sumber risiko operasi
bisnis yang terbesar.
Bank syariah harus memiliki system pengawasan dan
manajemen risiko yang tangguh. Dengan sistem ini, bank syariah dapat mendeteksi
dan menghindari terjadinya mismanagement maupun kega-galan sistem dan prosedur
pada bank syariah.
Risiko Imbal hasil (rate of return risk) adalah risiko
akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan LJK kepada nasabah, karena
terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima LJK dari penyaluran dana,
yang dapat memepengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga LJK. Rate of return
risk merupakan potensi hilangnya dana pihak ketiga (DPK) lantaran imbal hasil
simpanan di bank syariah fluktuatif. Untuk membantu pengelolaan risiko imbal
hasil di bank syariah, BI akan mengizinkan penerapan Profit Equalization
Reserve (PER/dana cadangan).
Risiko imbal
hasil timbul karena
antara lain adanya
perubahan perilaku nasabah
dana pihak ketiga bank yang
disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal hasil yang diterima dari
bank. Perubahan ekspektasi bisa disebabkan oleh faktor internal seperti
menurunnya nilai aset bank atau faktor
eksternal seperti naiknya
return imbal hasil
yang ditawarkan bank
lain.Risiko imbal hasil harus dijelaskan kepada nasabah calon deposan
melalui literasi dan inklusi keuangan
syariah secara rutin
dan terukur, sehingga
nasabah dalam menempatkan dananya bukan lagi keuntungan semata yang
dicari melainkan “saving” keamanan dalam menyimpan uang.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Arif, Nur, M dan Rahmawati, Y.
(2015). Manajemen Risiko Bank Syariah, Universitas Islam Negeri Jakarta.
AL-Infaq: Jurnal Ekonomi
Islam, (ISSN: 2087-2178, e-ISSN: 2579-6453) Vol. 11, No. 2, (2020)
Arifin, Zainul. 2009.
Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Azkia Publisher.
Bank Indonesia, 2011.
Peraturan Bank Indonesia No. 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Lembaran Negara republik
Indonesia nomor 103 Dpbs.
Henz and Berg. 2010. Risk
Management, Procedure, Methods, And Experiences, Journal RT & A, Vol. 1,
No. 2.
M. Sholahuddin, Risiko
Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah, Vol. 8, No. 2, Desember 2004
Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). 2016. Statistik Perbankan Syariah Periode Juni 2016. Jakarta : Otoritas
Jasa Keuangan.
www.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar